REPUBLIKA.CO.ID,PANGKAL PINANG -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin menjadi pembicara di sesi pleno Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII. Din mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak masalah di depan mata.
Ia mengatakan, pembangunan nasional Indonesia selama ini berlangsung mengikuti arus modernisasi yang berorientasi pada developmentalisme yang lebih berwajah fisikal-material. "Tolok ukur kemajuan diletakkan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan indikator-indikator kapitalistik. Parameter non-fisik kurang diperhatikan," kata Din saat menjadi narasumber pada sesi pleno KUII di Hotel Novotel, Bangka Belitung, Kamis (27/2).
Ia mengatakan, pembangunan infrastruktur lebih bersifat fisikal. Sementara aspek mental-spiritual menjadi terpental. Perekonomian nasional menghadapi masalah serius antara lain adanya paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi yang dualistik, kebijakan fiskal yang tidak mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal.
Pembangunan ekonomi demikian tidak akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perekonomian yang timpang seperti itu akan membawa hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang, melebarnya kesenjangan sosial, dan melemahnya fondamen ekonomi itu sendiri.
"Dalam keadaan demikian seyogyanya politik dapat menjadi instrumen penyelesaian masalah. Politik nasional sesungguhnya merupakan manajemen nasional untuk mengelola sumber daya nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional," ujarnya.
Ia mengatakan, demokrasi yang dijadikan sarana politik seharusnya bersifat fungsional dan instrumental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Namun, perpolitikan nasional menghadapi masalah baik yang bersifat struktural maupun kultural. Pada tingkat struktur, Indonesia masih menghadapi masalah kerancuan sistem ketatanegaran dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, sistem pemilihan yang liberal, dan budaya politik yang pragmatis-oportunistik.
"Dalam keadaan demikian, demokrasi berubah menjadi oligarki (yaitu kekuasaan oleh segelintir orang) bahkan kleptokrasi (yakni kekuasaan oleh orang-orang yang bermaksud jahat), sehingga bangsa mengalami deficit of democracy, kalau tidak democracy bancrupty," ujarnya.