Jumat 21 Feb 2020 05:43 WIB

Mengapa Rasulullah Gadaikan Baju Perangnya ke Yahudi?

Ini praktik muamalah kaum Muslim dengan sesama warga Madinah yang notabenenya Yahudi

Rep: Muhyiddin/ Red: Gita Amanda
Muhammad SAW
Foto: wordpress.com
Muhammad SAW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Muslimin di era kenabian bisa hidup rukun dan harmonis dengan warga Madinah lainnya yang berbeda keyakinan, termasuk dengan kaum Yahudi. Bahkan, Rasulullah Saw pun pernah berinteraksi dengan kaum Yahudi dengan menggadaikan baju besinya atau baju perangnya. 

Dalam buku "Madinah Era Kenabian: Kajian Kritis Sirah Nabawiyah Madinah Dalam Sosial, Agama dan Politik", Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, di dalam kitab hadits dan fiqih, banyak sekali praktik muamalah kaum Muslim dengan sesama warga Madinah yang notabene bukan Muslim alias Yahudi. 

Menurut Ustaz Sarwat, salah satu fakta yang sering diketahui adalah bahwa Rasulullah SAW wafat dalam keadaan baju besinya masih tergadaikan pada seorang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa sampai akhir hayat pun Rasulullah masih bermuamalat dengan Yahudi.

Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi tersebut karena ingin membeli gandum untuk dimakan bersama keluarganya. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut :

"Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, sampai wafatnya Nabi tidak sempat melunasi utang tersebut hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib lah yang membayarkannya.

"Rasulullah SAW wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum". (HR. Bukhari). 

Perlu diketahui, banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah menjalin hubungan yang harmonis dengan umat lain yang berbeda keyakinan di Kota Madinah. Bahkan, umat Islam saat itu saling tolong-menolong dalam hal muamalah sehari-hari, bukan dalam masalah akidah dan ibadah.

Kondisi umat Islam di Kota Madinah tersebut kala itu tidak jauh berbeda dengan umat Islam Indonesia saat ini yang bisa hidup secara rukun dan harmonis dengan umat agama lainnya. Walaupun, mungkin masih ada segelintir kelompok ekstremis yang keliru dalam memahami ayat dan hadits, sehingga mereka menganggap bahwa umat agama lain harus diperangi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement