Kamis 13 Feb 2020 13:55 WIB

PGI Persoalkan FKUB di SKB Menteri Pendirian Rumah Ibadah

FKUB juga tidak boleh menjadi penentu dalam pemberian izin pendirian rumah ibadah.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Toleransi (ilustrasi). PGI mempersoalkan posisi FKUB di SKB Menteri terkait Pendirian Rumah Ibadah.
Foto: Republika/Prayogi
Toleransi (ilustrasi). PGI mempersoalkan posisi FKUB di SKB Menteri terkait Pendirian Rumah Ibadah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyerahkan pokok-pokok pikiran revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri terkait pendirian rumah ibadah kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. PGI menyinggung soal posisi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

"Karena itu (pososi FKUB) salah satu yang kemudian ditafsirkan secara bebas di bawah dan menjadi pokok dari banyak masalah yang muncul," kata Sekretaris Jenderal PGI, Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty, di Kemenko Polhukam, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/2).

Baca Juga

Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, menjelaskan, SKB menteri tersebut sebetulnya ingin memfasilitasi atau mempermudah umat beragama dalam beribadah. Akan tetapi, yang terjadi kini, masyarakat menafsirkan dan menggunakan SKB menteri itu justru untuk membatasi.

"Revisi tentang posisi FKUB. FKUB itu sangat proporsional dalam peraturan yang lama. Kita menuntut itu supaya tidak dipakai kata proporsional karena dengan proporsional itu yang terjadi adalah voting, bukan musyawarah," ujar Gomar.

Selain itu, kata dia, FKUB juga tidak boleh menjadi penentu dalam pemberian izin pendirian rumah ibadah. Ia mengatakan, porsi FKUB adalah untuk dialog dan kerja sama antarumat beragama, tidak terfokus pada rekomendasi.

Menurut dia, pemberian izin adalah otoritas negara, bukan elemen sipil. "Tidak boleh diserahkan kepada elemen sipil, dalam hal ini FKUB. FKUB itu kan perangkat sipil, bukan otoritas negara. Kalau mau disebut rekomendasi, haruslah rekomendasi dari kementerian agama misalnya, kanwil atau kandep," tuturnya.

Gomar sebelumnya sudah pernah menyampaikan, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 perlu ditinjau ulang. Peninjauan itu dapat berupa revisi atau bahkan pencabutan seluruh beleid itu, yang mengatur pendirian rumah ibadah.

Bila kemudian PBM tersebut jadi dicabut, Gomal Gultom berharap hal itu disertai penerbitan regulasi yang baru, utamanya dalam konteks menguatkan jaminan atas kebebasan beragama.

“Revisi terhadap PBM itu untuk lebih menekankan peran fasilitas negara dan reposisi atas peran FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama),” kata Gomal Gultom kepada Republika.co.id, Rabu (13/2/2019).

Dia menjabarkan sejumlah poin yang perlu mendapat perhatian bersama. Pertama, persoalan jumlah umat yang membutuhkan pembangunan rumah ibadah di suatu daerah. Kedua, hal mengenai jumlah warga sekitar yang mendukung pendirian rumah ibadah itu. Gomal menilai, kedua poin itulah yang perlu ditinjau ulang.

Selain itu, dia meminta semua pihak yang berkepentingan untuk melihat peran FKUB sebagai lembaga masyarakat sipil, alih-alih bagian dari aparat negara.

Gomal menilai, semestinya pendirian suatu rumah ibadah tidak memerlukan rekomendasi dari FKUB. Cukup rekomendasi dari aparat Kementerian Agama (kemenag) setempat sebagai wujud hadirnya negara.

Sebab, lanjut dia, izin merupakan otoritas negara yang tidak bisa didelegasikan kepada masyarakat sipil. Karena itu, dia mengusulkan pembatasan peran FKUB dalam upaya dialog dan kerja sama antarumat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement