REPUBLIKA.CO.ID, Dalam khazanah Islam, aspek Hijriyah merupakan bagian penting dari sejarah besar yang mewarnai peradabannya. Meski Hijriyah dimaknai berpindah, meninggalkan, berpaling, dari hal buruk kepada kebaikan, namun dalam konteks sejarah, hijriah atau hijrah juga merujuk pada waktu.
Secara umum, hijrah ditafsirkan dalam tiga konteks penting sejarah Islam. Antara lain kaum Muslim meninggalkan Makkah yang berada di bawah kekuasaan kafir, menjauhkan diri dari dosa, dan bermulanya tarikh (tahun) Islam atau biasa dikenal dengan Hijriyah.
Ketika Rasulullah dan rombongannya bermigrasi dari Makkah ke Madinah, rombongan tersebut tiba di Quba, Madinah, pada 8 Rabiul Awal dan tahun pertama Hijriyah. Dalam literatur Islam diketahui, beliau beserta rombongan beristirahat di Quba selama empat hari.
Namun, kapan persisnya kalender Hijriyah ini dikenal di Nusantara?
Dalam buku "Jejak Arkelogis dan Historis Islam di Indonesia" karya Hasan Muarif Ambary disebutkan, penanggalan Hijriyah tertua diperoleh dari tahun wafat seorang Muslimah yang bermukim di Leheran (Gresik) bernama Fatimah binti Maemun bin Hibatallah.
Nisan makamnya tertuliskan isyarat waktu, yakni tertulis wafat pada 7 Rajab tahun 475 Hijriyah atau 25 November 1082 Masehi. Di kampung gapura Gresik juga terdapat inkripsi pertanggalan tahun wafat Maulana Malik Ibrahim pada 12 Rabiul Awal tahun 822 Hijriyah atau 8 April 1419 Masehi.
Data sejarah dan arkeologi selanjutnya juga menunjukkan bukti bahwa kerajaan Islam tertua di Nusantara, Kerajaan Samudera Pasai, menggunakan kalender Hijriyah. Disebutkan, raja pertama tersebut yakni Sultan Malik as-Saleh tercatat pada bulan Ramadhan tahun 696 Hijriyah atau 1297 Masehi bertahta.
Penggunaan kalender Hijriyah juga tercatat pernah dilakukan kerajaan Islam Nusantara lainnya. Yakni kerajaan Islam di Banten tepatnya di Kota Sorasowan yang berdiri pada 1 Muharam tahun 932 Hijriyah atau 8 Oktober 1526 Masehi.
Penggunaan kalender Hijriyah bukan hanya dilakukan oleh kalangan birokrat kerajaan semata. Salah satu Wali Songo, Sunan Giri, bahkan telah mengarang kitab ilmu falak (perbintangan dan astronomi) yang diseuaikan dengan alam dan jalan pikir masyarakat Jawa.
Di dalam Serat Widya Praddana karya Sunan Giri disebutkan, ilmu falak sebagai sebuah disiplin ilmu astronomi memuat penanggalan yang berlaku bagi orang Jawa atas prinsip-prinsip ilmu falak Islam. Dalam serat itu pun disebutkan nama-nama hari, tanggal, tahun, windu, dan sebagainya yang semula berwujud istilah-istilah Hindu-Budha maka diubah menjadi istilah-istilah Islam.