REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meluncurkan buku Mengenang Sang Guru Politik Profesor Bahtiar Effendy di Pusat Dakwah Muhammadiyah pada Senin (10/2). Buku tersebut dibuat untuk mengabadikan gagasan almarhum Bahtiar tentang politik Islam.
Editor buku Mengenang Sang Guru Politik Profesor Bahtiar Effendy, Ma'mun Murod Al-Barbasy mengatakan, buku ini dibuat untuk memberikan penghargaan kepada almarhum Bahtiar yang selama ini telah memberikan banyak sumbangsih kepada Muhammadiyah. Pembuatan buku ini prosesnya sekitar 40 hari artinya sangat cepat penyusunannya.
"Konten buku ini tentang kesan-kesan dari para tokoh dan gagasan almarhum Bahtiar, buku ini mengeksplorasi lebih jauh pemikiran almarhum Bahtiar terutama yang terkait masalah politik dan Islam," kata Ma'mun kepada Republika di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Senin (10/2).
Ma'mun menafsirkan gagasan almarhum Sang Guru Politik bahwa harus ada simbiosis mutualisme. Artinya negara butuh Islam, begitu pula Islam butuh negara dan politik. Gagasan ini yang dikembangkan oleh almarhum Bahtiar.
Ia mengungkapkan, almarhum Bahtiar bukan orang biasa tapi orang yang luar biasa. Maka hanya lewat buku ini orang-orang bisa mengenang beliau secara abadi selama buku ini ada. Sebab kalau gagasan almarhum hanya disampaikan lewat media dan forum tidak akan cukup efektif, tapi kalau lewat buku bisa lebih efektif.
Ma'mun menginformasikan setelah menulis buku Mengenang Sang Guru Politik Profesor Bahtiar Effendy selanjutnya akan menulis buku tentang Buya Yunahar Ilyas yang akan ditangan oleh tim dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
"itu juga sedang menyiapkan tulisan untuk buku tentang (KH Salahuddin Wahid) Gus Solah, semoga nanti bisa diluncurkan saat 40 hari wafatnya Gus Solah," ujarnya.
Ia menyampaikan, tujuan pembuatan buku untuk mengenang tokoh Nahdlatul Ulama ini untuk membangun konvergensi antar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dalam pandangan dia, kalau Muhammadiyah dan Nahdlatul bertemu maka 50 persen persoalan bangsa sebenarnya sudah selesai.
"Problemnya selama ini hanya titik-titik tertentu saja ketemu (antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), pada wilayah politik rasanya susah untuk ketemu," ujarnya.