Senin 10 Feb 2020 14:30 WIB

Rohana Kudus, Sang Wartawati Pelopor

Rohana Kudus mendapat gelar pahlawan nasional pada 2019.

Rohana Kudus, Sang Wartawati Pelopor. Foto: Rohana Kudus
Foto: dok. Anri
Rohana Kudus, Sang Wartawati Pelopor. Foto: Rohana Kudus

REPUBLIKA.CO.ID,

Perempoean haroes menggerakan diri

Baca Juga

Patoetlah poela mengeloearkan peri

Penarah kesat nak hilang doeri

Penghentian goenjing sehari-hari

Petikan syair yang terdapat dalam halaman Soenting Melajoe terbitan 27 Juni 1912 adalah goresan milik Rohana Kudus. Inilah cermin kegelisahan pada ketakadilan terhadap perempuan di masa itu. Rasa gelisah yang lama mengendap dalam benaknya, bahkan bergejolak sejak Siti Roehana, si gadis kecil itu, masih berusia delapan tahun.

Perempuan asli Koto Gadang yang lahir pada 20 Desember 1884 itu kerap kali bertanya, mengapa perempuan tak boleh bersekolah seperti anak laki-laki. Pertanyaan itu tak lantas terjawab. Namun, Rohana kecil agaknya cukup beruntung.

Kendati tak bersekolah, sang ayah yang bekerja sebagai hooft jaksa, rajin memberikan koran dan majalah pada sang putri. Ayah memberikan saya koran dari mana-mana dan kadang memesan buku-buku dari Singapura untuk saya baca, tuturnya, pada wartawan harian Api Pantjasila pada 22 Mei 1966.

Pada usia yang masih sangat muda, Roehana telah menjadi seorang ‘guru’ bagi teman-temannya. Dengan senang hati dia mengajarkan mereka membaca dan mengeja nama mereka sendiri.

Bahkan, dia pun rajin mendongeng. Cerita Bundo Kanduang adalah kegemarannya. Kisah tentang seorang ratu yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyuang amat dikaguminya. Agaknya, kebesaran, kehebatan, kepemimpinan, dan kebijaksanaan Bundo Kanduang amat membekas dalam benaknya.

Keteladanan itu pula yang membuat Roehana tak berhenti. Pada 11 Februari 1911, Roehana mendirikan sebuah sekolah keterampilan di Koto Gadang yang diberinya nama Kerajianan Amai Setia (KAS). Di sini, para perempuan diajarkan kerajinan tangan, membaca, dan menulis huruf Arab, Melayu, dan Latin.

Kendati jalannya tak lempang, Rohana tak henti berjuang demi kaumnya. Namun, dia mempunyai cara sendiri. Rohana memilih berjuang lewat goresan pena, lewat tulisan-tulisannya yang bernas.

Pada 10 Juli 1912, Rohana mendirikan surat kabar khusus perempuan, Soenting Melajoe. Dibantu oleh Soetan Maharadja yang saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe serta seorang redaktur pelaksana di Padang, Roehana memimpin surat kabar tersebut dari Bukittinggi.

Di koran itu, Rohana tidak hanya membicarakan nasib perempuan di tanah Melayu, tetapi juga di belahan negara lainnya di dunia. Dia juga bersentuhan dengan politik dan memberikan gagasan bahwa perempuan juga bisa terjun dalam organisasi pergerakan dan percaturan politik.

Dalam seminggu, Rohana menulis dua karangan. Saya tulis dengan pena karena belum ada mesin tik. Kalaupun ada, saya tidak bisa menggunakannya, ujar Roehana.

Sebelum dicetak, karangan tersebut diperiksa sang suami, Abdoel Kuddus. Dia membetulkan atau menambah yang kira-kira kurang terasa, tuturnya.

Buah perjuangannya, pada 17 Agustus 1974, dua tahun setelah kematiannya, Roehana dinobatkan sebagai ‘Wartawati Pertama’ oleh Pemda Sumatra Barat.

Saat peringatan Hari Pers Nasional III pada 9 Februari 1987, Rohana dianugerahi penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia.

                                              

Fitriyanti, penulis biografi Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama di Indonesia, menyimpan kesan tersendiri untuk Roehana. Dengan pemikiran-pemikiran yang jauh ke depan, Dia adalah perempuan yang terlalu ‘maju’ pada zamannya, ujar Fitri.

Terlebih, dia mempunyai kebiasaan membaca yang di luar kelaziman di masanya. Kebiasaan itu pula yang membuatnya punya pemikiran maju dibandingkan anak perempuan seusianya, papar Fitri.

Di sisi lain, Roehana tidak pernah lupa pada kodratnya sebagai seorang istri, ibu, dan perempuan. Lihatlah penampilan Roehana, sang wartawati itu. Tak ada penampilan tomboi khas perempuan yang bekerja di ‘dunia pria’.

Sehari-hari, Rohana adalah perempuan yang berpakaian khas Koto Gadang dengan baju kurung, songket, selendang, serta kain yang dililitnya sebagai tangkuluak tanduak di atas kepalanya. Roehana tetap lincah. Bahkan, dia pernah meliput berita kasus pencurian di Bukttinggi, ujar Fitri.

Saat umurnya 24 tahun, dia menikah dengan lelaki bernama Abdoel Kuddus. Sejak itulah, Rohana menyandang nama Kudus di belakang namanya.

Dia beruntung mendapatkan suami yang mendukung karier sang istri. Abdoel tidak pernah membatasi istrinya untuk melakukan apa yang dipercayainya.

Abdoel juga mendampingi Roehana dalam menghadapi segala cobaan yang menerpa istri tercintanya itu. Hal ini membuat Roehana semakin mantap dalam memperjuangkan hak perempuan. Dia menjadi lebih berani karena sebelumnya dia benar-benar berjalan sendirian. Abdoel Kuddus sangat mencintai Rohana. Tidak seperti laki-laki pada zamannya yang kerap berpoligami, Abdoel kukuh beristrikan satu orang, yaitu Rohana.

Bagi keluarga, Rohana dikenang sebagai pribadi yang disiplin. Kedisiplinan tersebut tampak dari caranya menjaga kesehatan. Dia sangat menjaga makanan yang disantapnya, ujar cucu satu-satunya Rohana, Eddy Juni.

Kedisiplinan tersebut juga tampak dari konsistensinya menjalankan ajaran agama. Rohana, lanjut Eddy, hafal Alquran.

Dia juga punya kebiasaan berzikir setelah shalat. Kebiasaan itu membawanya menjalin 500 biji tasbih yang didapatkannya dari pemberian teman-temannya. Biji tasbih tersebut disambungnya dalam satu rantai lalu digulungnya pada pergelangan tangan. Sambungan yang sangat panjang itu akan dibukanya saat shalat, tuturnya.

Dia pun sangat rapi dalam berpakaian. Saya ingat, dia akan merapikan rambutnya yang panjang lalu menggulungnya dengan rapi di atas kepalanya, tuturnya. Apalagi, bila akan menemui para wartawan yang hendak mewawancarai dirinya. Ini jugalah bukti penerapan nilai agama yang dilakukannya, tutur Eddy.

Kepada sang cucu, Rohana juga mengajarkan nilai kejujuran dan toleransi. Dia juga mengingatkan agar saya selalu berhati-hati dalam melangkah. Bisa saja ada orang yang dengki di sekitar kita, katanya.

Saat umurnya 71 tahun, Rohana masih terus menulis. Apa saja dicatatnya. Dia paling suka menyimak dan mencatat pidato sang adik, Sutan Syahrir, dan Soekarno yang didengarnya lewat radio, tuturnya.

Roehana meninggal pada usia 88 tahun. Tepatnya saat rakyat Indonesia memperingati hari kemerdekaan RI ke-27 pada 17 Agustus 1972. Dia dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Setelah kematiannya itu, semakin banyak orang yang sadar akan kontribusinya terhadap kaum perempuan di Indonesia. Dia telah melakukan tindakan nyata tanpa harus berkoar-koar di mimbar.  Saat ini perjuangan perempuan bukan lagi soal kesempatan, namun soal kemauan, ujar Fitri.

Hanya bila ada kemauan, para perempuan bisa mengubah nasibnya. Tidak dilecehkan dan diremehkan, katanya. Layaknya seorang Roehana yang berjuang tanpa henti untuk mengubah nasib diri dan kaumnya. Perjuangan itu pula yang dianggap sejumlah orang layak mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan nasional.

Sayang, usaha tersebut tak membuahkan hasil. Pada 2008, Rohana hanya menerima bintang jasa, bukan gelar pahlawan nasional.

Gelar pahlawan nasional itu baru didapatkan pada Hari Pahlawan 2019. Kepastian diperoleh melalui surat keputusan Kementerian Sosial RI.

 

Penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Rohana Kudus ini dilaksanakan pada 8 November 2019 di Istana Negara, Jakarta. Penganugerahan ini diberikan kepada ahli waris dan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement