Ahad 09 Feb 2020 10:40 WIB

KH Ridwan Abdullah, Ulama Perancang Logu NU (1)

KH Ridwan Abdullah diminta menjelaskan soal logu NU.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Ridwan Abdullah, Ulama Perancang Logu NU (1). Foto: Logo Nahdlatul Ulama
KH Ridwan Abdullah, Ulama Perancang Logu NU (1). Foto: Logo Nahdlatul Ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang ulama tidak hanya memiliki ilmu agama yang tinggi, tapi juga memiliki sejumlah keahlian. Di antara ulama yang memiliki keahlian khusus adalah KH Ridhwan Abdullah. Beliau adalah seorang ulama yang tidak menguasai ilmu agama tapi juga pandai dalam melukis.

Dalam mempelajari ilmu agama, Kiai Ridwan belajar di sejumlah pesantren di Madura dan di Jawa. Di antaranya, Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Pondok Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, dan Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan Madura.

Baca Juga

Degan belajar di sejumlah pesantren itu ilmu agamanya pun tak diragukan. Namun, Kiai Ridwan berbeda dengan ulama lainnya, karena ia juga memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Banyak jasa yang telah dilakukannya untuk agama dan bangsanya.

Salah satu karyanya adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid yang memiliki arsitektur yang khas ini adalah hasil buah tangan Kiai Radwan. Dengan keahliannya dalam melukis, ia pun dipercaya para ulama untuk membuat lambang Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU).

KH Ridwan Abdullah lahir di Kampung Carikan Gang I, Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan Surabaya pada 1 Januari 1884. Ayahnya bernama KH Abdullah. Pada awalnya, Kiai Abdullah menyekolahkan Ridwan ke sekolah Belanda.

Ridwan muda tergolong sebagai murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang sampai ingin mengadopsinya. Namun, belum selesai belajar di sekolah tersebut, ayahandanya kemudian mengirimkan Ridwan ke Pondok Pesantren Buntet di Cirebon, Jawa Tengah. Setelah dari Buntet, Ridwan kemudian mengembara mencari ilmu ke Pondok Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo, Jawa Timut.

Tak berhenti di situ, Ridwan tampaknya masih haus akan ilmu agama. Dia pun berangkat ke Madura untuk berguru kepada Syekhona Kholil Bangkalan. Di pesantren Kiai Kholil inilah Ridwan menimba ilmu cukup lama, sehingga ia pun menjadi seorang yang alim.

Pada 1901, Kiai Ridwan juga sempat pergi ke tanah suci Makkah dan tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun. Pada 1911 Kiai Ridwan kembali lagi ke Makkah untuk kedua kalinya. Setelah tinggal di sana selama satu tahun, ia pun kembali ke tanah air.

Kiai Ridwan lebih banyak bergerak di dalam kota untuk mendakwahkan ajaran Islam. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan kiai yang tinggal di pedesaan. Misalnya, di saat kiai pedesaan mengharamkan kepiting untuk dimakan, Kiai Ridwan justru menghalalkannya.

Kiai Ridwan dapat dikategorikan sebagai kiai intelektual. Pergaulannya tidak hanya dengan para ulama, tapi juga dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan, hubungannya dengan pra tokoh tersebut cukup erat.

Dalam kehidupan rumah tangganya, Kiai Ridwan menikah dengan seorang wanita bernama Makiyah pada 1910. Namun, setelah dikaruniai tiga anak istri pertamanya tersebut meninggal dunia. Kemudian ia menikah lagi dengan perempuan bernama Siti Aisyah, yang masih ada hubungan keluarga dengan pendiri NU, KH Abdul Wahab Hasbullah.

Kiai Ridwan Abdullah dikenal sebagai ulama yang dermawan. Kiai Ridwan bahkan selalu memberikan uang kepada anak-anak yang akan berangkat ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu. Saat sowan kepadanya, anak-anak tersebut tak lupa juga diberikan nasihat. 

Sementara itu, di kalangan para ulama Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuam agama yang tinggi. Pergaulan Kiai Ridwan sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok pesantren saja, sehingga ia pun memiliki pengalaman yang luas.

Kiai Ridwan wafat pada 1962 di usianya yang ke-78 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di pemakaman Tembok, Surabaya, Jawa Timur. Bakat dan keahliannya dalam melukis kemudian diwarisi oleh seorang putranya, KH Mujib Ridwan.

Perjuangan Kiai Ridwan Abdullah

KH Ridwan Abdullah memang tidak memiliki pondok pesantren sendiri, tapi ia dikenal sebagai ulama yang kerap mendakwahkan ajaran Islam tanpa kenal lelah. Ia berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena itu, dia pun dijuluki sebagai “Kiai Keliling”.

Kiai Ridwan biasanya berdakwah di malam hari dan berpindah-pindah dari satu surau ke surau lainnya. Beberapa daerah yang secara rutin menjadi tempat beliau bedakwah di Surabaya di antaranya, Kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.

Setelah KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW), Kiai Ridwan selalu mendampingi Kiai Wahab. Selain itu, Kiai Ridwan juga aktif mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan.

Untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Kiai Ridwan juga ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan Kiai Ridwan di zaman kemerdekaan ini sangatlah besar. Bahkan, salah satu putranya yang masuk dalam keanggotan Pembela Tanah Air (PETA) gugur di medan perang saat melawan tentara penjajah.

Pada 1948, Kiai Ridwan pun ikut memanggul senjata dan berperang melawan penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, Kiai Ridwan dan pasukan Sabilillah terpukul mundur hingga ke Jombang.

Kiai Ridwan juga merupakan salah satu ulama yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam peristiwa 10 November 1945 untuk dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR), yang kemudian dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa. 

Selain itu, banyak jasa yang telah Kiai Ridwan berikan untuk bangsa ini. Namun, perjuangannya tidak bisa dilepaskan dari organisasi NU yang didirikan KH Hasyim Asy’ari. Namanya pun masuk pada susunan pengurus besar NU periode pertama dengan menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain itu, Kiai Ridwan juga tercatat dalam kepengurusan NU Cabang Surabaya sebagai pengurus Syuriyah.

Pada 9 Oktober 1927, para ulama dan kiai NU menggelar Muktamar NU kedua di Surabaya. Pada muktamar inilah, warga NU pertama kali melihat lambang NU yang dipasang tepat pada pintu gerbang lokasi acara di Hotel Peneleh Surabaya. Lambang NU tersebut dibuat oleh Kiai Ridwan.

Namun, lambang berbintang sembilan itu masing asing di kalangan warga nahdliyin dan warga Surabaya. Karena itu, dalam Muktamar NU kedua itu diadakanlah majelis khusus untuk mengetahui arti lambang NU tersebut.

Dalam sidang majelis khusus tersebut dipimpin oleh Kiai Raden Adnan dair Solo. Dalam forum itu, kemudian Kiai Adnan meminta Kiai Ridwan untuk menjelaskan arti lambang NU tersebut. Kiai Ridwan pun menjelaskan isi yang terdapat dalam lambang NU itu.

Kiai Ridwan menjelaskan, tali yang terdapat di dalam lambang NU tersebut melambangkan agama. Sedangkan tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan umat Islam seluruh dunia.

Kemudian, untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna atau nama-nama Allah. Sedangkan bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan kebesaran Nabi Muhammad Saw.

Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umat bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Empat bidang di bagian bawah melambangkan empat mazhab, yaitu Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan imam Malii. Sedangkan jumah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Sanga.

Setelah mendengarkan penjelaskan Kiai Ridwan yang seperti itu, seluruh pesera majelis khusus tersebut menerima penjelasakan itu dan peserta Muktamar NU kemudian menjadikannya sebagai lambang NU. Lambang tersebut sampai saat ini masih digunakan oleh organisasi NU.

Setelah Muktamar NU Kedua tersebut ditutup, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Ridwan dan menanyakan asal mula pembuatan lambang NU yang diciptakannya tersebut. Kiai Ridwan pun menjelaskan bahwa yang memberinya tugas untuk membuat lambang itu adalah KH Abdul Wahab Hasbullah.

Menurut Kiai Ridwan, pembuatan lambang itu memakam waktu satu setengah bulan. Sebelum menggambar lambar itu, Kiai Ridwan pun tidak asal membuatnya. Ia telebih dahulu melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah. Hasilnya, Kiai Ridwan bermimpi melihat sebuah gambar langit yang biru jernih seperti halnya yang terdapat dalam bambang NU sekarang ini.

Setelah mendengar penjelasan dari Kiai Ridwan, Kiai Hasyim Asy’ari pun merasa puas. Kemudian, Kiai Hasyim mengangkat kedua tangannya sambil berdoa. Setelah berdoa, Kiai Hasyim berharap agar Allah mengabulkan harapan yang dimaksud dalam lambang NU.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement