REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mochammad Anggi (33) seorang mualaf. Sembilan tahun lalu Anggi mengucap syahadatnya.
Sudah sejak lama Anggi ingin menjadi seorang muslim, namun lingkungan dan terbatasnya informasi membuatnya mengurungkan niat. Semenjak kecil Anggi sudah hidup di dunia malam dan jalanan, Anggi dibuang kedua orang tuanya. Anggi dibesarkan oleh kedua orang tua tiri yang bekerja di kehidupan malam di Kalijodo.
Setamat SMP, Anggi memutuskan pergi meninggalkan kedua orang tua tirinya. Karena tidak punya keahlian apapun, ia bertahan hidup mengandalkan hasil dari menjadi pengamen sampai 2010.
Pada 2011, Anggi memutuskan ikut pembinaan program dari Kementerian Sosial (Kemensos). Melalui program itulah Anggi mendapatkan pelatihan tentang kewirausahaan berupa keterampilan las dan difasilitasi belajar agama Islam. Pada waktu itulah Anggi mengucap dua kalimah syahadat dan sebulan kemudian memutuskan untuk menikah.
Pada 2015, Anggi mengikuti kembali pembinaan dari Kemensos, kali ini pembinaan ditujukan untuk tenaga transmigrasi. Ia benar-benar berharap pembinaan kali ini bisa mengubah kehidupannya, namun nasib baik belum berpihak kepadanya. Delapan bulan mengikuti pembinaan Anggi dinyatakan tidak lolos.
Setahun berselang ia mencoba lagi mengikuti program yang sama di Kabupaten Klaten. Meski lolos tes, program transmigrasi terpaksa ia batalkan karena istrinya mengalami gagal ginjal dan memutuskan untuk kembali lagi ke Bekasi.
Hari-harinya dilalui mengantar istrinya berobat jalan dan setiap sebulan sekali harus menjalani cuci darah. Anggi pun mulai kebingungan untuk membiayai pengobatan istrinya. Akhirnya Anggi dipertemukan dengan Rojali, koordinator program Layanan Kemanusiaan PPPA Daarul Qur’an, di Tangerang. Anggi kemudian difasilitasi untuk membuka usaha kopi keliling, beberapa bulan bejalan ia kemudian memutuskan untuk beralih usaha menjadi penjual sandal spons karakter.
Dari berjualan sandal itulah penghasilannya mulai bertambah. Ekonomi keluarganya mulai membaik, Allah SWT memberikan cobaan, istrinya harus dirawat di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama dan semua uang dari hasil usahanya habis untuk membiayai pengobatan istrinya.
Anggi berazam mengubah kondisi keluarganya. Pada 2017 ia memboyong istri dan kedua anaknya untuk pindah ke Klaten. Anggi kembali menekuni pekerjaan lamanya menjadi pengamen, berbekal ukulele tuanya ia berkeliling dari satu ruko ke ruko lainnya, satu bus ke bus lainnya selama dua tahun.
Tahun 2020 ini Anggi kembali berkeinginan untuk mencoba kembali peruntungannya di dunia usaha berjualan sandal spons karakter. Karena keterbatasan modal kepada PPPA Daarul Qur’an cabang Yogyakarta Anggi memohon bantuan untuk menjalankan usahanya kembali.
Pada 1 Februari lalu permohonannya dikabulkan. Raut wajah bahagianya tergambar jelas saat tim PPPA Daarul Qur’an cabang Yogyakarta membawakan satu tenda lipat merah lengkap dengan spanduk bertuliskan “Senyum Pemberdayaan Sandal Karakter Mas Anggi”.
Ia berharap dengan bantuan modal usaha tersebut bisa memperbaiki ekonomi keluarganya. Tak lupa Ia juga menyelipkan doa dan terimakasih kepada para donatur yang telah berzakat dan bersedekah di PPPA Daarul Qur’an, semoga keberkaan dan keselamatan selalu menyelimuti para donatur.