Ahad 02 Feb 2020 09:54 WIB

Aktivis Buddha Myanmar Bicara Jalan Terjal Membela Rohingya

Myanmar tetap menentang dan menolak perintah pengadilan terkait Rohingya.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Aktivis Buddha Myanmar Bicara Jalan Terjal Membela Rohingya. Sejumlah anak muslim Rohingya membaca alquran di masjid kampung Char Pauk, Sittwe, Myanmar.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Aktivis Buddha Myanmar Bicara Jalan Terjal Membela Rohingya. Sejumlah anak muslim Rohingya membaca alquran di masjid kampung Char Pauk, Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Myanmar beragama Buddha, Maung Zarni, menyampaikan pentingnya putusan Pengadilan Internasional (ICJ) 23 Januari lalu. Putusan tersebut memerintahkan Myanmar untuk mengambil semua langkah yang diperlukan dalam rangka melindungi Muslim Rohingya dari genosida.

"Kami semua merasa sangat senang meski ini hanya awal dari perjalanan mereka untuk mendapatkan pengakuan sebagai komunitas etnis yang selalu bersama Myanmar, untuk mencari pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida, selama 40 tahun terakhir," kata dia dalam wawancaranya dengan Anadolu Agency, Ahad (2/2).

Baca Juga

Zarni menilai, langkah-langkah ini akan berdampak pada kehidupan Muslim Rohingya di Myanmar. Namun dia mengakui, pemerintah Myanmar tetap menentang dan menolak perintah pengadilan. "Masih banyak jalan yang harus ditempuh. Mungkin perlu empat hingga enam tahun sebelum pengadilan memberikan putusan akhir," ujarnya.

"Pengadilan tidak membeli distorsi, kelalaian, dan kebohongan Myanmar yang disampaikan secara pribadi oleh Aung Suu Kyi sebagai kepala de facto Myanmar dan sebagai perwakilan resminya," lanjutnya.

Apalagi, Suu Kyi juga sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang pemerkosaan yang diderita ribuan wanita Rohingya. Menurut dia ini tanda-tanda jelas bahwa para pemimpin Myanmar akan berusaha keras dan keras kepala.

"Myanmar telah menerbitkan laporan yang katanya paling komprehensif dan paling akurat dan faktual. Komisi itu disebut independen. Tetapi laporan itu disusun oleh empat komisioner yang dipilih sendiri, dua dari Jepang dan Filipina dan dua dari Myanmar," ujarnya.

Mereka semua, kata Zarni, adalah mantan pegawai pemerintah atau birokrat, dan tidak seorang komisaris pun dapat dianggap memenuhi syarat sebagai penyelidik hak asasi manusia.

Zarni juga mengakui, ICJ bukanlah pengadilan pidana. ICJ adalah mekanisme sengketa hukum internasional yang membantu menyelesaikan dan menengahi perselisihan di antara negara-negara anggota PBB. Dalam hal ini, lanjut dia, Myanmar sebagai negara terkait pada Konvensi Genosida tidak diadili sebagai penjahat.

"Keterlibatan ICJ adalah untuk menyelesaikan konflik antara Gambia dan Myanmar atas tuduhan bahwa Myanmar telah melanggar kewajiban dan ketentuan Konvensi Genosida. Tapi tetap saja, dalam kasus ini, putaran (apa yang dilakukan) Myanmar sama sekali tidak berdampak pada keputusan pengadilan," ujar dia.

Zarni mengatakan, ada sebidang tanah kosong luas sepanjang 68 kilometer (62 mil). Ini adalah daerah di mana hampir 400 desa Rohingya pernah berdiri dan semua infrastruktur fisik termasuk masjid, beras mati, rumah, toko, sekolah, dan sebagianya. Seluruhnya dibakar dan diledakkan dengan peluncur roket oleh pasukan keamanan.

"Saya berani mengatakan ratusan kuburan massal Rohingya dan beberapa kuburan massal mungkin telah dihancurkan sekarang. Itulah sebabnya Myanmar bersikeras melarang simpatisan PBB datang dan melihat tempat kejadian kejahatan secara forensik," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement