Rabu 29 Jan 2020 22:24 WIB

Antara Sukarno, Mbah Wahab, dan Kitab Fath al-Qarib

Mbah Wahab memberikan saran ke Sukarno merujuk kitab Fath al-Qarib.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Mbah Wahab memberikan saran ke Sukarno merujuk kitab Fath al-Qarib. Ilustrasi Kitab Kuning
Foto: Republika/Prayogi
Mbah Wahab memberikan saran ke Sukarno merujuk kitab Fath al-Qarib. Ilustrasi Kitab Kuning

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di kalangan pondok pesantren, kitab Fath al-Qarib ini biasanya dipelajari dengan metode pengajian bandongan, yaitu guru membaca dan santri menulis makna. Ada juga yang menggunakan metode sorogan, yaitu santri membaca dan guru menyimak.  

Namun, mungkin masih banyak kalangan luar pesantren yang menganggap bahwa pembelajaran kitab kuning ini sudah tidak relevan pada zaman sekarang ini. 

Baca Juga

Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar karena esensi isi kitab Fath al-Qarib ini bisa dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.  

Sebagai contoh, kontekstualisasi kitab Fath  al-Qarib ini pernah dilakukan pada zaman Presiden Soekarno yang pusing memikirkan pembebasan Irian Barat. 

Dalam buku KH Saifuddin Zuhri yang berjudul "Berangkat dari Pesantren” dijelaskan, setelah beberapa kali diadakan perundingan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat dan selalu gagal, Bung Karno kemudian menghubungi ulama NU di Jombang, yaitu KH Wahab Hasbullah. 

Bung Karno kemudian menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat. Kiai Wahab pun menjawab, “Hukumnya sama dengan orang yang ghasab”.  

Apa artinya ghasab itu pak kiai? Tanya Bung Karno. "Ghasab itu istihqaqu malil ghair bighairi idznihi (menguasai hak milik orang lain tanpa izin)," jawab Kiai Wahab.  

Lalu bagaimana solusinya untuk menghadapi orang yang ghasab? “Adakan perdamaian” jawab Kiai Wahab.  

Lalu Bung Karno bertanya lagi, menurut insting pak Kiai apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil? “Tidak,” jawab Kiai Wahab. 

Lalu mengapa kita tidak potong kompas saja pak Kiai? Kata Bung Karno. “Tidak boleh potong kompas dari syariah,” jawab kiai Wahab.  

Selanjutnya, sesuai anjuran Kiai Wahab untuk berunding dengan Belanda, Bung Karno mengutus Subandrio untuk mengadakan perundingan konflik Irian Barat dengan Belanda. Perundingan itu pun akhirnya gagal. Kegagalan ini kemudian disampaikan Bung Karno kepada Kiai Wahab. 

Lalu Bung Karno bertanya lagi, pak kiai apa solusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik Irian Barat? Kiai Wahab menjawab, “Akhadzahu qahran” (ambil/kuasai dengan paksa).  

Bung Karno bertanya lagi, apa rujukan pak Kiai dalam memutuskan masalah ini? Kemudian Kiai Wahab menjawab, “Saya mengambil literatur kitab Fath al-Qarib dan syarahnya (al-Baijuri).  

Setelah Bung Karno mantap dengan pendapat Kiai Wahab agar Irian Barat direbut dengan paksa, kemudian Bung Karno membentuk tiga komando rakyat (Trikora) untuk diberangkatkan merebut Irian Barat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement