Rabu 29 Jan 2020 04:20 WIB

Manfaat Azan Ternyata tak Hanya untuk Panggilan Shalat

Sejumlah hadis sahih menguatkan manfaat azan tak sebatas untuk shalat.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Sejumlah hadis sahih menguatkan manfaat azan tak sebatas untuk shalat. Foto azan (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sejumlah hadis sahih menguatkan manfaat azan tak sebatas untuk shalat. Foto azan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Azan selama ini selalu dikumandangkan di waktu shalat. Fungsinya untuk menyerukan kepada segenap umat Muslim untuk menunaikan shalat wajib. Namun apakah Azan dalam Islam dikumandangkan khusus hanya untuk shalat lima waktu? 

Direktur Aswaja Center PWNU Jawa Timur, KH Ma'ruf Khozin, menjelaskan azan tidak hanya untuk memberi tahu waktu shalat. Ada beberapa riwayat hadis yang menunjukkan azan dilakukan di waktu selain shalat. Pertama, saat ada yang kerasukan setan. Dalilnya ialah hadis "Jika ada yang kerasukan jin atau setan maka kumandangkanlah azan".

Baca Juga

Al-Hafiz al-Suyuthi memaparkan, hadis tersebut diriwayatkan an-Nasai dalam Sunan al-Kubra (No 10791) dan Abu Ya'la (No  2219). Kemudian, kitab Jami' al-Hadis (14/279) karangan al-Hafiz al-Haitsami menguatkannya, bahwa para perawi dalam hadis itu adalah perawi hadis sahih.

Kedua, Kiai Khozin mengungkapkan, azan juga dikumandangkan pada saat kesusahan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Dailami, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib menyampaikan tentang Nabi Muhammad SAW yang melihat dirinya bersedih. Kemudian Nabi SAW meminta agar azan dikumandangkan di telinga Ali bin Abi Thalib. "Suruh sebagian keluargamu azan di telingamu. Sebab itu obat bagi rasa sedih," kata Nabi bersabda.

 

Ketiga, lanjut Kiai Khozin, Azan juga dikumandangkan saat lahir bayi. Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari jalur Abu Rofi', disebutkan, bahwa Abu Rofi' melihat Rasulullah mengAzankan Hasan bin Ali dengan Azan shalat, ketika Fatimah melahirkan. Hadis tersebut dinilai hasan shahih, sedangkan ulama Salafi menilainya dengan hasan sebagaimana dijelaskan dalam Irwa' al-Ghalil (4/400).

Terhadap hadis tersebut, ulama Syafi'iyah melakukan ijtihad dengan metode qiyas, seperti diungkapkan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj (5/51). Kitab ini menjelaskan, bahwa terkadang dianjurkan azan untuk selain salat. 

Misalnya di telinga bayi yang lahir, orang susah, orang pingsan, orang marah, yang buruk perilakunya baik manusia atau hewan, ketika ada desakan pasukan, dan ketika tenggelam.

"Ada yang mengatakan ketika mayit diturunkan ke kubur, diqiyaskan dengan pertama kali lahir di dunia, namun saya membantahnya dalam kitab Syarah Ubab. Juga ketika kerasukan jin, berdasarkan hadis sahih. Demikian halnya azan dan iqamah di belakang musafir," demikian penjelasan dalam Tuhfah al-Muhtaj (5/51).

Kiai Khozin menjelaskan, Ali bin Husain al-Ishabi (577-657 H), Abu Hasan, ahli fikih, ahli usul fikih, yang berkebangsaan Yaman, adalah yang pertama kali menganjurkan azan terhadap orang yang memasukkan mayit ke liang lahat. Ini termaktub dalam kitab al-A'lam (4/280).

"Dari penjelasan Imam Ibnu Hajar al-Haitami sebenarnya kita tahu bahwa dalam internal Madzhab Syafiiyah ada perbedaan pendapat soal azan ketika pemakaman ini," tutur dia kepada Republika.co.id, Selasa (28/1).

Bedanya, lanjut Kiai Khozin, dalam Mazhab Syafi'iyah hal itu diakui sebagai khilafiyah dalam ijtihad, karena memang ulamanya ahli ijtihad semua. 

"Giliran ada golongan anti-mazhab dan tidak punya kapasitas ijtihad, tiba-tiba mereka mengatakan bahwa azan ketika pemakaman tidak ada dalam syariat Islam," ujarnya.

Kiai Khozin mengatakan, kalau hasil ijtihad dengan metode qiyas dianggap bukan bagian dari Islam, seharusnya batalkan juga ijtihad tentang zakat profesi karena tidak ada di zaman Nabi. "Juga jangan berzakat fitrah dengan beras karena diqiyaskan dengan kurma padahal Nabi mengeluarkan zakat fitrah dengan kurma. Dan masalah lain dalam perkembangan ijtihad," tutur dia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement