Rabu 22 Jan 2020 07:16 WIB

Puasa Justru Geliatkan Roda Ekonomi, Bagaimana Bisa?

Roda ekonomi selama bulan puasa justru malah berputar menggeliat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Roda ekonomi selama  bulan puasa justru malah berputar menggeliat. Ilustrasi menunggu buka puasa.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Roda ekonomi selama bulan puasa justru malah berputar menggeliat. Ilustrasi menunggu buka puasa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Idealnya memang puasa yang merupakan aktivitas menahan diri dari nafsu, makan dan juga minum sejatinya dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. Namun terjadi, pada Ramadhan misalnya, geliat perekonomian justru tumbuh lewat konsumsi dan produksi, padahal sedang puasa. Mengapa demikian?

Berdasarkan buku Belajar Mudah Ekonomi Islam karya Cecep Maskanul Hakim dijelaskan, permintaan barang pada bulan puasa selalu meningkat dua hingga tiga kali lipat dari waktu-waktu biasanya. Peredaran uang (velocity) juga demikian, meningkat peredarannya. 

Baca Juga

Tak hanya itu, pada bulan puasa pun para ekonom selalu mewanti-wanti akan tingginya inflasi dengan melonjaknya permintaan di pasar. Dalam jargon ekonomi, hal tersebut dinamakan cost push inflation. Namun anehnya hal ini justru tidak terjadi.

Cecep menjelaskan, keinginan orang untuk mendapatkan barang untuk lebaran yang menaikkan tingkat permintaan itu, biasanya dibarengi dengan keinginan orang untuk mengeruk keuntungan dengan cara memproduksi barang sebanyak-banyaknya. Hal iin berarti dapat meninggatkan suplai barang yang pada gilirannya akan menekan harga.

Jika permintaan dan suplai barang meningkat tanpa diiringi kenaikan harga yang signifikan, menurut dia, itu artinya ekonomi sedang booming. 

Di situlah letak irasionalnya. Meski belum ada penelitian lebih lanjut, dia memaparkan, berdasarkan asumsi, velocity uang pada bulan puasa mendekati rasio satu.

Artinya pada saat itu, nilai uang yang beredar merupakan gambaran terhadap nilai transaksi riil, baik berupa barang maupun jasa. 

Bagaimana hal itu dapat terjadi, pihaknya tak mengetahui jawaban pasti. Namun terkadang terdapat kebenaran banyak pandangan bahwa ada dimensi dalam perekonomian Islam yang tidak dapat dicerna oleh rasionalisme.

Semua ilmu, termasuk ekonomi memang harus memiliki dasar rasionalnya. Agama pun harus dijalankan dengan orang-orang yang berakal. Namun dia memaparkan, apabila semua hal harus rasional maka bisa jadi orang tak bisa hidup karena semua hal yang diperbuatnya harus sesuai dengan rasionya.

Sedangkan orang Inggris saja percaya bahwa semakin banyak orang memberi, semakin banyak dia akan menerima. Dalam Islam diajarkan, tidak akan berkurang harta karena sedekah. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan seperti ini tidak dapat dicerna oleh ilmu ekonomi yang melulu berisi rasionalitas dan materialitas.

Namun begitu, pihaknya mengutarakan jawaban yang berasal dari dimensi lain. Misalnya, ketika puasa, maka kondisi hati manusia rata-rata sedang berada dalam puncak spiritnya. Hal itu membuat manusia cenderung untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.

Misalnya, membeli makanan untuk berbuka puasa pun kadang kerap melebihkan untuk orang lain. Pada saat seperti itu, hitungan materi tidak lagi berlaku. Pemberian materi tidak lagi untuk mendapatkan imbalan materi, tetapi sesuatu yang lain yang memuaskan hati.

Untuk itu jika semua orang berpuasa dan melakukan hal yang sama (kecuali orang yang tidak mampu), maka asumsi jatuhnya generalisasi (the fallacy of decomposition) berlaku, tetapi bukan untuk membantah teori ekonomi, namun untuk mendukungnya. Bahwa konsumsi meningkat, permintaan bertambah, suplai bertambah, harga bergerak stabil, hingga pengangguran berkurang.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement