Kamis 16 Jan 2020 03:30 WIB

Berburu Makna Bulan Sabit

Simbol bulan sabit ini jadi warisan peradaban dari era Babilonia hingga Islam.

Berburu Makna Bulan Sabit. Foto: Partai Masyumi yang berbendera bulan sabit dan bintang (Ilustrasi).
Berburu Makna Bulan Sabit. Foto: Partai Masyumi yang berbendera bulan sabit dan bintang (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Achmad Syalabi Ichsan

Baca Juga

Bulan sabit kerap diasosiasikan sebagai lambang Islam. Tidak terhitung berapa organisasi masyarakat, partai politik, kesultanan hingga negara umumnya berpenduduk mayoritas Muslim, menjadikan simbol tersebut sebagai lambang resmi. Meski demikian, simbol tersebut memiliki sejarah perjalanannya jauh sebelum Islam datang.

Lambang bulan sabit pertama kali digunakan oleh masyarakat Babilonia pada lebih dari 6.000 tahun silam. Bulan menjadi salah satu benda langit yang pernah disembah manusia. Marduk, merupakan dewa yang merepresentasikan bulan. Lewat sebuah jurnal berjudul The Origin of The Crescent and Star, seorang arkeolog asal Amerika Serikat pada awal abad ke-20, Edgar J Banks, mengungkapkan, bulan identik dengan peradaban di Timur. Pada masa lalu, masyarakat Timur amat dekat dengan tahayul dan mistis.

 

Masyarakat Babilonia yang menjadi pelopor peradaban di Mesopotamia percaya bahwa benda-benda langit adalah dewa. Bagi mereka, bulan adalah pimpinan dewa-dewa itu. Pengangkatan bulan sebagai dewa karena bulan tidak pernah muncul dua malam ber turut-turut pada posisi yang sama. Satelit bumi itu pun terus-menerus mengubah ben tuknya tergantung pada keadaan cuaca saat itu. Pada waktu lain, dia bahkan tidak terlihat. Masyarakat Babilonia pun menyimpulkan jika bulan merupakan dewa yang penting.

Peradaban Babilonia terbilang maju pada zamannya. Masyarakatnya menulis dengan batu dan tanah liat. Mereka menulis sesuatu berdasarkan bentuk aslinya yang belakangan disebut sebagai hierogliph. Ketika hendak menulis tentang kata kerja 'berjalan', mereka menggambar kaki. Mereka menulis matahari dengan gambar bulatan besar. Begitu juga tentang bulan sabit dan bintang yang disimbolkan berdasarkan bentuk aslinya.

Mereka menyebut, Shiptu untuk menam kan simbol yang selalu berpasangan ter sebut. Shiptu juga kerap diasosiasikan sebagai istilah untuk mengusir setan dan roh jahat. Masyarakat kuno ketika itu memang kerap merasa diawasi oleh mata setan. Shiptu digunakan sebagai salah satu jimat untuk melindungi keselamatan mereka. Mereka pun menyebut hal yang sama untuk merapal mantra-mantra saat mengusir roh jahat. Mereka juga mengenal bulan baru, yakni istilah dalam bulan sabit dengan nama Shipin. Lagi-lagi, mereka percaya jika Shipin bisa mengusir setan dan roh jahat.

Banks percaya jika lambang ini terus di wariskan ke peradaban setelahnya. Babilonia ditaklukkan Persia. Setelah itu, lambang bulan dan sabit menjadi simbol yang tertera dari koin mereka. Persia melakukan hal yang sama setelah menaklukkan Persia. Mereka meletakkan lambang itu di koin resmi.

Alexander yang Agung memimpin pasukannya dari Makedonia mengekspansi Asia Barat. Setelah itu, bulan sabit dan bintang juga digunakan di koin mereka. Demikian dengan Roma dan Byzantium (Romawi Timur). Karena itu, Banks meyakini jika Turki Utsmani mengadopsi lambang yang sama usai menaklukkan Konstantinopel yang dikuasai Byzantium. Lambang tersebut kemudian menjadi populer di kalangan dunia Islam.

Namun, penggunaan bulan sabit sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada 28 Mei 1453. Bulan sabit emas menghadap ke atas sudah tampak pada Kubah Batu atau Dome of Rock di Yerussalem, Palestina. Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Univer sitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof Syukron Kamil menjelaskan, Dome of Rock dibangun oleh Khalifah dari Dinasti Umayyah, Abdul Malik bin Marwan pada 691 M.

Khalifah yang memiliki oposisi politik di Makkah dan Madinah itu membangun situs tersebut untuk mengalihkan kunjungan para peziarah ke Masjid al-Aqsa. Tempat suci ketiga umat Islam itu memiliki keutamaan 500 kali shalat. Tidak hanya itu, batu yang berada di dalam Kubah Batu dipercaya sebagai tempat Nabi Muhammad SAW berpijak sebelum melesat ke Sidratul Muntaha.

Khalifah lantas membangun kubah batu dengan dana besar-besaran. Sejarawan al Muqaddasi menuturkan, biaya pembangunannya mencapai 100 ribu koin emas dinar atau senilai Rp 2,1 triliun. "Tapi, emas dan bulan sa bit nya dijarah pada Perang Salib," ujar Syukron saat berbincang dengan Republika.

Selama Perang Salib, Kubah Batu diserahkan kepada Augustinian yang mengubahnya menjadi gereja pada 1104. Saat Yerussalem berada dalam naungan Shalahuddin al- Ayyubi pada Jumat, 2 Oktober 1187, al Haram asy-Syarif kembali dijadikan tempat ibadah bagi kaum Muslimin. Salib di atas Kubah Batu pun dicopot menjadi bulan sabit emas. Shalahuddin mengembalikan fungsi tempat ini seperti semula.

Ornamen bulan sabit juga ditemukan pada Masjid Cordoba. Masjid ini didirikan oleh Abdurrahman ad-Dakhil (Khalifah Ab durrahman I), seorang keturunan Bani Umayyah yang lari dari Damaskus karena dikejar-kejar pasukan Abbasiyyah. Abdurrahman ber hasil mendirikan Dinasti Umayyah di Spanyol.

Masjid Cordoba pun mulai dibangun pada 785 M. Bangunan masjid ini tidak sepenuhnya diberi atap. Ada bagian-bagian tertentu yang sengaja dibuat terbuka agar cahaya dan udara bisa masuk ke dalam masjid. Bentuk tiang-tiangnya menampilkan corak beragam, berbentuk melengkung. Satu bentuk lengkungan khas dalam seni bangunan Islam di Spanyol.

Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve disebutkan, terdapat leng kungan (arcade) berbentuk bulan sabit meng hadap ke bawah di atas kapitel. Kapitel ini berfungsi sebagai pengait kayu-kayu pilihan yang menghubungkan tiang-tiang masjid. Tiang yang pembuatannya amat halus dan meng gunakan bahan tiang antik zaman Romawi.

Meski kerap disebut terinspirasi oleh bu daya Romawi, Syukron mengungkapkan, penggunaan bulan sabit pada era Islam memiliki makna berbeda dengan kebudayaan se belumnya. Menurut Syukron, umat Islam memiliki landasan sendiri dalam menggunakan simbol tersebut.

Bulan sabit merupakan pertanda bulan baru. Sejak masa Umar, perhitungan kalender Islam berdasarkan bulan atau Qomariyah. Hijrah menjadi momentum awal tahun kalender penanggalan yang kemudian disebut dengan hijriyah itu. Umat Islam pun memaknai hijrah lebih dari sekadar penanggalan, tapi juga proses pencarian menuju Sang Pencipta. "Hijrah berarti pindah dari jahiliyah ke tauhid atau dari jumud ke progresif," kata Syukron.

Penggunaan bulan sabit pun memang dekat dengan masyarakat gurun. Dilansir dari The Guardian, Linda dan Phil Homes dari Cottingham dan Humberside berpendapat, saat Islam berkembang di Arab, benda-benda langit memiliki fungsi berharga bagi penduduk lokal. Karavan-karavan mengarungi gurun pasir yang luas untuk berdagang. Untuk menghindari panas matahari, mereka berjalan ketika malam. Saat itu, posisi bulan dan bintang amat penting sebagai navigasi alami agar mereka tidak tersesat. Bulan lantas direpresentasikan sebagai petunjuk Tuhan untuk mengarungi kehidupan.

 

Jadi Lambang Kesultanan

Banyak kesultanan di Nusantara yang menggunakan lambang bulan sabit sebagai simbol. Di Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam menggunakan bendera Alam Paeudeung. Bendera tersebut menjadi lambang resmi kerajaan pada masa Ali Mughayat Shah, sultan Aceh yang memimpin pada 1511-1530. Pada lambang yang disebut dengan Alam Peudeung ini, terdapat bulan sabit, bintang dan sebilah pedang. Tiga benda tersebut muncul di atas latar berwarna merah.

Bendera Alam Peudeung digunakan Kesultanan Aceh pada 1496-1904. Bahkan, kerajaankerajaan yang pernah berada di bawah Kesultanan Aceh pada abad 16 sampai abad 18 ikut menggunakan bendera tersebut, selain bendera kerajaan lokal masing-masing, seperti Kerajaan Asahan, Langkat, Deli, Serdang, dan lain-lain.

Nama Alam Peudeung berasal dari gabungan dua kata, yakni 'alam' dan 'peudeung'. Dalam manuskrip kitab Tazkirat al Tabagat Qanun Syara' Kerajaan Aceh karangan Syekh Syamsulbahri (1272 H) yang dikutip oleh Balai Pelestarian Budaya Aceh- Sumut, kata 'alam' dalam Alam Peudeung diambil dari Bahasa Arab yang berarti bendera. Sementara itu, 'peudeung' bermakna pedang.

Beberapa ahli berpendapat, bendera Aceh Alam Peudeung terinspirasi dari bendera Turki Utsmani. Terlebih adanya bulan sabit yang menyerupai lambang Utsmani. Caroline Finkel dalam The Story of Ottoman menulis "Muslim Sultanate of Aceh, when threatened by Portuguese expansionism, sought Ottoman assistance. The Ottoman troops were sent to aid the sultan against the Portuguese in 1537, 1547, 1566. Aceh formally requested the protection of the Ottomans. The Ottomans fleet set out form Suez to aid Aceh. And the Ottoman flag used by the Sultanate of Aceh''. (Caroline Finkel: 2005).

Sultan Aceh Ali Riayat Shah al- Kahhar pernah mengirim utusan ke Turki untuk meminta bantuan dalam menghadapi Portugis. Reputasi Turki Utsmani sebagai imperium terbesar di dunia pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni pun sampai pada masyara kat Nusantara, khususnya Aceh, yang sudah memeluk agama Islam. Sultan bahkan secara eksplisit menyatakan jika Kesultanan Aceh merupakan pembantu dan salah satu desa yang berada di bawah kekuasaan Utsmani.

Tak hanya Aceh, banyak kesultanan lain yang menggunakan lambang bulan sabit atau bulan sabit dengan tambahan bintang. Beberapa contohnya, yakni Kesultanan Mataram Islam, Kesultanan Pontianak, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Serdang, Kesultanan Sumenep, hingga Kesultanan Banjar. Mereka menjadikan bulan sabit sebagai salah satu unsur lambang kesultanan. Kesultanan Ternate bahkan menggunakan lambang tersebut sebagai mahkota sultan.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement