Sabtu 21 Dec 2019 10:50 WIB

Hari Ibu dan Hukum Merayakannya Menurut Fikih Islam

Ucapan hari ibu dan merayakannya secara umum boleh dilakukan.

  Sejumlah anggota Pramuka memeluk Ibunya usai membasuh kaki Ibu mereka dalam acara kwartir nasional gerakan pramuka
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah anggota Pramuka memeluk Ibunya usai membasuh kaki Ibu mereka dalam acara kwartir nasional gerakan pramuka

REPUBLIKA.CO.ID, Hari ibu yang bertepatan dengan 22 Desember yang akan dirayakan Ahad besok, merupakan salah satu perayaan yang dilaksanakan tak sedikit masyarakat dunia, termasuk Indonesia. 

Namun, belakangan hukum boleh tidaknya merayakan hari ini kembali ramai diperbincangkan. Sebagian kalangan menolak mentah-mentah tradisi ini. 

Baca Juga

Dalam diskursus kajian hukum Islam, persoalan ini memang sudah dibahas oleh sejumlah pakar. Setidaknya ada dua kubu pro dan kontra merespons hukum perayaan yang berasal dari tradisi Barat tersebut. 

Menurut  Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta’) menegaskan merayakan Hari Ibu boleh hukumnya boleh dan tidak dilarang dalam syariat. Apalagi ini menjadi salah satu wadah mengepresikan kecintaan dan kebaikan kita terhadap ibu. 

Prinsip ini sejalan dengan tuntutan berbuat baik kepada orang tua, seperti termaktub Surah Luqman ayat ke-14. Tidak ada larangan agama mengekpresikan kebaikan tersebut dan tidak perlu mengaitkan persoalan ini dengan bidah.     

Sementara itu sejumlah ulama  l-Azhar Mesir tidak setuju dengan perayaan Hari Ibu adalah Syekh Mutawalli as-Sya’rawi dan Syekh Ali Mahfudh. Sejumlah cendekiawan seperti Syekh Musthafa al-Adawi dan Syekh Abdul Hamid Kisyk. 

Dalam pandangan mereka, mengapa perayaan ini tidak boleh dilakukan karena, tradisi ini tidak adalah dalam syariat Islam dan termasuk taklid terhadap tradisi Barat. Barat menciptakan peringatan ini sebagai bentuk hiprokrit. 

Fenomena abai terhadap orang tua menjadi pemandangan lumrah. Peradaban materalistik membuat sebagian dari mereka dengan mudahnya menelantarkan kedua orang tua. Kendati demikian, para ulama tersebut tidak memvonis kafir bagi Muslim yang melakukan perayaan hari ini. 

Sementara itu, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, peringatan Hari Ibu bukanlah termasuk perkara yang haram. Pengharaman sebuah perkara harus didahului dan dilandasi teks. Dan kaedah dasar memandang perkara dan tradisi adalah boleh.

“Meski saya sendiri cenderung tak perlu merayakannya dalam komunitas kita,” kata dia. Jika memang harus dilaksanakan, sebaiknya menghindari penamaannya tanpa menyebutkan nama I’d (hari raya). Karena istilah Id memiliki korelasi yang kuat terhadap agama. 

Syekh Yusuf Qaradhawi juga mengingatkan hendaknya perayaan Hari Ibu, tetap memperhatikan nasib dan kondisi anak-anak yang kehilangan ibu mereka. “Jangan sampai justru perayaan ini menyakiti hati mereka,” kata dia. 

Catatan yang sama juga disampaikan Grand Syekh al-Azhar, Mesir, Syekh Ahmad at-Thayyib. Dia mengakui memang perayaan ini membahagiakan ibu, tetapi ingat pula peringatan ini juga menyakit anak-anak yatim. “Jika harus memilih, saya lebih memilih menjaga perasaan anak-anak Yatim, karena kewajiban membahagian ibu adalah setiap saat,” kata dia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement