REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mengasuh anak atau hadhanah memang tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak. Namun begitu, mayoritas ulama sepakat bahwa hadhanah merupakan hak seorang ibu untuk menjaga dan mendidik anaknya ketika kecil.
Para ulama lima mazhab berpendapat, hadhanah memang merupakan perkara pengasuhan, pendidikan, dan penjagaan kepada anak kecil oleh wanita pengasuh.
Namun para ulama dari lima mazhab tersebut berbeda pendapat mengenai lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu, syarat-syarat pengasuh, hak atas upah, hingga hal lainnya yang melingkupi perkara tersebut.
Misalnya, dalam buku Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawwad Mughniyah, agama mengatur siapa-siapa saja yang berhak mengasuh anak apabila seorang ibu tidak mampu mengasuh anaknya. Mazhab Hanafi misalnya berpedoman dari beberapa aspek yang menyertai ketetapannya.
Dijabarkan apabila hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu maka hak hadhanah-nya dapat diberikan. Begitu juga pada saudara-saudara perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, anak perempuan dari saudara seibu, dan seterusnya hingga pada garis bibi dari pihak ibu dan ayah.
Sedangkan dalam Mazhab Maliki, hak asuh dapat diberikan apabila itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya ke atas. Lalu kepada saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu ibunya ayah, hingga ibu bapaknya ayah dan seterusnya.
Mazhab Imam Syafi’i mengatur hak atas asuhan secara berturut-turut meliputi ibu, ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas. Namun dengan syarat, kesemua garis keturunan tersebut adalah mereka yang pewaris-pewaris si anak.
Kemudian hak asuh juga dapat diberikan kepada ayah, ibunya ayah, ibu dan ibunya ayah, hingga keturunan ke atasnya. Dengan syarat yang sama, bahwa mereka juga merupakan pewaris-pewaris si anak pula. Selanjutnya barulah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.
Dalam Mazhab Hanbali, hak asuh berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan seibu. Kemudian hak asuh bisa juga diberikan pada saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu, dan seterusnya.
Selanjutnya adalah perspektif dalam Mazhab Imamiyah yang menyebutkan bahwa hak asuh dapat diberikan kepada beberapa orang yang berhak, antara lain ibu dan ayah. Jikalau ayah si anak meninggal atau menjadi gila sesudah asuhan diserahkan kepadanya dan sang ibu masih hidup, maka hak asuh diserahkan kepada ibu.
Dalam perspektif Mazhab Imamiyah, ibu adalah orang yang paling berhak mengasuh si anak jika dibandingkan dengan seluruh kerabat termasuk kakek dari pihak ayah. Namun begitu apabila kedua orang tua si anak meninggal, maka asuhan beralih ke tangan kakek dari pihak ayah.