Rabu 08 Jan 2020 16:45 WIB

Studi: Kontra Radikalisme Mesti Prioritaskan Kelompok Rentan

Radikalisme mudah menyasar kelompok rentan terpapar intoleransi.

Radikalisme mudah menyasar kelompok rentan terpapar intoleransi dalam masyarakat. Foto kerukunan Beragama (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Radikalisme mudah menyasar kelompok rentan terpapar intoleransi dalam masyarakat. Foto kerukunan Beragama (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam menyemarakkan semangat toleransi dan antiradikalisme pada tahun ini seharusnya diprioritaskan pada kelompok yang rentan terpapar intoleransi agar tidak terjerumus lebih jauh. 

Jadi menurut peneliti senior dari Wahid Foundation Alamsyah, M Djafar, kalau kaitannya dengan toleransi dan intoleransi harus ada prioritas yang menyasar kelompok-kelompok yang rentan terpapar intoleransi. 

Baca Juga

“Misalnya, yang tepapar kelompok-kelompok kelas menengah yang memiliki pilihan politik tertentu, kemudian kita sering mendapatkan informasi yang berisi kebencian dan lain sebagainya,” ujar Alamsyah dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (8/1).

Pada 2019, bangsa Indonesia telah berhasil melewati tantangan kebangsaan melalui proses kontestansi demokrasi. Pada tahun politik dengan ragam dinamika persoalan yang menguak emosi dan persinggungan identitas di ruang publik.

Untuk itulah pada tahun ini bangsa ini harus keluar dari lubang intoleransi, sekat primordial, dan ujaran kebencian demi merekatkan kembali persaudaraan antarwarga bangsa ini.

Selain itu, menurut Alamsyah, menyampaikan narasi alternatif tentang toleransi, perdamaian, dan antiradikalisme kepada kalangan masyarakat juga sangat penting demi memperkuat persaudaraan antarwarga Indonesia.

Selanjutnya, tinggal menentukan siapa mereka dan bagaimana media yang tepat untuk menyasar kelompok-kelompok yang rentan ini.

Misalnya, kepada kelompok ormas yang menggunakan cara-cara kekerasan atau bisa jadi penyampaian narasinya adalah bisa dilakukan   para mantan pelaku yang sudah tidak lagi tergabung dengan kelompok "keras" tersebut, atau dia sudah "tobat" dari perbuatan kekerasan yang pernah dilakukannya.

Menurut pria yang pernah menjadi program manager Wahid Foundation ini penyampaian narasi toleransi, perdamaian, dan antiradikalisme juga bisa dilakukan oleh para tokoh, baik itu tokoh bangsa, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama yang selama ini telah menjdi panutan masyarakat.

Apalagi, jika para tokoh tersebut memiliki media sosial (medsos) dan sering memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk mengajak bertoleransi

"Jadi, masyarakat bisa mendapatkan narasi toleransi dan perdamaian dari tokoh-tokoh panutannya. Jika tidak dapat bertemu dari tokoh tersebut, saya kira bisa melalui media sosial yang mana mereka bisa langsung mengaksesnya," kata Alamsyah.

Apalagi, lanjut dia, kalau tokoh yang menjadi panutan tersebut sering memberikan narasi perdamaian melalui media sosial dan memiliki banyak follower.

Menurut dia, bisa saja ada pertanyaan bagaimana kalau mereka ini tidak memiliki panutan atau tokoh di lingkungan masyarakatnya. Namun, hal tersebut kecil kemungkinan masyarakat tidak memiliki tokoh panutan atau seseorang yang ditokohkan di lingkungan masyarakat. "Jadi, asumsi saya di dalam masyarakat itu selalu ada struktur kepemimpinan," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Alamsyah, harus menemukan kelompok yang akan menjadi sasaran, kemudian menyasar mereka.

"Artinya, kalau kita mau untuk efektif melakukan gerakan antiradikalisme atau antiintoleransi, kita harus berbasis pada data menyasar dari para tokohnya,” tutur mantan program officer riset dan advokasi Wahid Foundation.

Selain itu, dia juga berpendapat bahwa pemerintah juga memiliki peran penting untuk mengajak masyarakat bersama-sama secara terus-menerus menggelorakan semangat toleransi dan antiradikalisme.

"Kalau dari segi kampanye itu, saya kira perlu peran pemerintah dan itu biasanya terus dilakukan,” ujarnya.

Namun, dia berpendapat dari segi efektivitas ataupun dampak, pemerintah harus mulai berpikir mengenai tindakan-tindakan yang istilahnya mengurangi praktik-praktik diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Selain itu, pemerintah juga mengurangi peraturan-peraturan yang diskriminatif, kebijakan-kebijakan, atau penyataan-pernyataan yang diskriminatif. Hal itu, menurut dia, dampaknya akan lebih produktif.

Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini memandang perlu peran lembaga pendidikan untuk memperkuat toleransi di kalangan lembaga pendidikan itu sendiri.

Selama ini, pihaknya bersama dengan sekolah-sekolah negeri telah mengembangkan "sekolah damai" sebagai upaya untuk mendukung penguatan toleransi di sekolah-sekolah.

Dalam "sekolah damai" ini, katanya menerangkan, indikatornya adalah apakah sekolah-sekolah tersebut telah mengeluarkan kebijakan yang mendukung penguatan toleransi di sekolah masing-masing dan apakah ada praktik-praktik toleransi di lingkungan sekolah.

Dengan demikian, bukan hanya deklarasi ataupun kampanye saja dalam pengertian yang biasa, melainkan praktik seperti itu sebuah langkah konkret dalam membangun semangat toleransi melalui dunia pendidikan dan mempunyai dampak yang sangat luar biasa bagi psikologi anak.

"Nah, kalau gerakan ini dilakukan sangat masif oleh sekolah-sekolah, tentunya hal tersebut akan lebih baik dalam membangun semangat toleransi,” katanya.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement