Rabu 08 Jan 2020 06:18 WIB

Peneliti LIPI: MUI Perlu Pahami Modernisasi Umat Islam

Ada penolakan dari kalangan umat Islam terhadap proses modernisasi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Pengamat politik LIPI Fachry Ali (tengah).
Foto: Antara
Pengamat politik LIPI Fachry Ali (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachry Ali menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu memahami proses modernisasi di kalangan masyarakat Muslim. Sebab, dia mengakui ada penolakan dari kalangan umat Islam terhadap proses modernisasi.

"MUI harus memahami proses ini, karena penolakan ini menjadi problem MUI, karena yang menolak adalah bagian dari umat Islam. Kalau ini enggak diselesaikan, maka berat masa depannya," tutur dia dalam Focus Group Discussion (FGD) sebagai rangkaian Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (7/1).

Baca Juga

Fachry dalam kesempatan itu bercerita tentang temannya yang semula bekerja di sebuah bank kini telah keluar dari pekerjaan tersebut. Temannya itu datang dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Sebab, sekarang mengenakan celana cingkrang dan memanjangkan jenggotnya.

Saat ditanya mengapa mengundurkan diri, kata Fachry, temannya menjawab karena ragu terhadap bank konvensional. Lantas Fachry kembali menimpalnya dengan menanyakan mengapa tak masuk ke bank syariah. Temannya mengatakan bahwa dirinya juga ragu terhadap bank syariah.

Dalam keadaan demikian, menurut Fachry, peran Wapres Ma'ruf Amin yang juga ketum MUI diperlukan. Dia berpendapat, Ma'ruf Amin perlu mendorong ekonomi umat. Tapi ia mengingatkan, istilah yang digunakan haruslah ekonomi umat, bukan ekonomi syariah.

"Karena tadi, ada penolakan juga terhadap ekonomi syariah oleh orang yang Islamnya sangat dalam," tutur dia.

Lebih lanjut, Fachry menuturkan kekuatan ekonomi sangatlah penting. Dia pun menyinggung soal era Turki Utsmani, dengan menyebut bahwa sebetulnya ada suntikan dana dari Barat untuk memperkuat ekonomi Turki Utsmani. Namun, ia mengatakan, Turki Utsmani saat itu gagal mengikuti sistem kapitalisme.

Sebab, kata Fachry, dana-dana yang diperoleh itu digunakan untuk memperkuat kekuatan militer. "Turki Utsmani rontok adalah karena fokus pada militer. Jadi kekurangan kita sekarang adalah pengenalan kita terhadap sistem kapitalisme," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement