Selasa 07 Jan 2020 07:00 WIB

Ahli Ibadah tak Berilmu dan Zalim Bermaksiat, Bahaya Mana?

Ahli ibadah yang tak berilmu berpotensi datangkan bahaya.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ahli ibadah yang tak berilmu berpotensi datangkan bahaya. Foto ibadah bulan Ramadhan (ilustrasi)
Foto: Antara//Adeng Bustomi
Ahli ibadah yang tak berilmu berpotensi datangkan bahaya. Foto ibadah bulan Ramadhan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Alquran, anjuran serta teguran Allah SWT mengenai pentingnya menjadi manusia berakal kerap disinggung dalam sejumlah ayat-ayat-Nya. Namun begitu, Islam juga menekankan bagi setiap hamba untuk selalu menjadi pribadi yang taat dalam beribadah. 

Lantas, manakah yang lebih baik antara ahli ibadah yang bodoh dengan orang yang lalim? Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik, dia berkata: “Aku memuji kebaikan seseorang di hadapan Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah justru bertanya: bagaimana akalnya? Mendengar hal ini, para sahabat berkata: wahai Rasulullah, ibadahnya... akhlaknya... kesopanannya, namun justru Rasulullah bertanya kembali: “Bagaimana akalnya?”

Baca Juga

Mendengar jawaban Rasulullah, para sahabat justru terheran-heran lantas bertanya: “Wahai Rasulullah, kami memuji ibadahnya dan kebaikannya, sementara engkau bertanya kepada kami tentang akalnya?”. Mendengar hal ini, Rasulullah kemudian menjawab:

إنَّ الْأَحْمَقَ الْعَابِدَ يُصِيبُ بِجَهْلِهِ أَعْظَمَ مِنْ فُجُورِ الْفَاجِرِ وَإِنَّمَا يَقْرَبُ النَّاسُ مِنْ رَبِّهِمْ بِالزُّلَفِ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ 

“Innal-ahmaqa al-abida yushibu bijahlihi a’zhama min fujuril-fajiri wa innama yaqrabu an-nasu min Rabbihim bizzulafi ala qadri uqulihim,”. Yang artinya: “Ahli ibadah yang bodoh akibat kebodohannya dapat mendatangkan musibah yang lebih besar dibandingkan dengan kemaksiatan yang dilakukan seseorang yang zalim. Dan kedekatan manusia dengan Tuhannya (salah satunya) ditentukan berdasarkan kadar akalnya,”.

Imam al-Mawardi dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Kenikmatan Kehidupan Dunia dan Agama menyebut, seandainya kecerdasan akal muktasab itu dikembangkan melalui proses pengembangan ketajaman berfikir, maka akal tersebut akan menemukan kesempurnaan secara mutlak dan pemiliknya berhak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan dari ilmunya.

Kendati demikian, Islam juga tidak serta-merta menganjurkan para pengikutnya untuk menjadi pribadi yang zalim. Dalam berbagai literatur Islam, Rasulullah kerap menekankan kepada kaum Muslimin untuk menjadi umat yang kuat. Baik itu secara keilmuan, ketakwaan ibadah, maupun dalam status sosial serta kekayaan yang diperoleh secara halal.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement