Selasa 07 Jan 2020 06:00 WIB

Pandangan Gus Dur Sebagai Budayawan

Gus Dur menjadikan kebudayaan untuk memanusiakan manusia.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Pandangan Gus Dur sebagai Budayawan . Foto: Gus Dur
Pandangan Gus Dur sebagai Budayawan . Foto: Gus Dur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir dari lingkungan pondok pesantren. Semasa hidupnya, ia mengaji dari satu pesantren ke pesantren lainnya hingga menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kendati demikian, dia juga mendapatkan status sebagai seorang budayawan yang memanusiakan manusia. 

Gus Dur adalah ulama dan tokoh yang menjadikan budaya sebagai alat memanusiakan manusia. Karena itu, Gus Dur pun pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada kurun waktu 1982-1985. Bagi Gus Dur, kebudayaan adalah ‘Seni’, yang mengatur hidup dan menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial.

Baca Juga

Sahabat karib Gus Dur, KH. Ahmad Mustofa Bisri yang lebih sering dipanggil Gus Mus mengatakan, Gus Dur dalam hidupkan sangat memanusiakan manusia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Karena itu, tak heran jika sampai saat ini banyak yang mendoakan Gus Dur.

“Gus Dur adalah tokoh manusia yang ngerti manusia, yang  memanusiakan manusia. Seperti yang dicontohkan Rasulullah,” ujar Gus Mus saat tausiyah dalam acara Haul Gus Dur ke-10 di Jalan Al-Munawaroh, Warung Sila, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12) lalu.

Gus Dur merupakan budayawan kebanggan Nahdlatul Ulama (NU) dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Gus Dur dikenal sebagai kiai yang mendobrak kejumudan dan keteladanannya menginspirasi banyak orang. Gus Dur adalah pengayom dan bisa berdiri di tengah semua golongan.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga memahami seluk-beluk konflik global dan mampu mengayomi perbedaan agama, suku dan ras. Dia menjadi jalan bagi keragaman. Jika kebudayaan tidak dikedepankan, tentunya di era globalisasi ini  jati diri masyarakat Indonesia akan digerus kebudayaan luar.

Beberapa literasi menyebutkan, Gus Dur lahir pada 7 September 1940. Namun, bagi Gusdurian atau para pengikutnya, Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940. Ia adalah putra pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Ia adalah cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari.

Gus Dur pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir dan juga di Universitas Baghdad, Irak. Di samping itu, Gus Dur juga pernah menuntut ilmu di Jerman dan Prancis. Jejak keilmuan Gus Dur dari Timur ke Barat itu kemundian membentuk Gus Dur sebagai tokoh relegius nasional yang modernis.

Namun, sekembalinya ke tanah air Gus dur juga menyisihkan pemikirannya pada masalah-masalah kebudayaan. Sekitar 1970-an, ia pun mulai banyak mengisi ceramah-ceramah tentang kesenian dan kesenian, termasuk di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Pada 1975, ceramah Gus Dur tentang kebudayaan Arab dan Islam bahkan membuat aktivis kesenian dan kebudayaan terhenyak. Dalam ceramahnya kal itu, Gus Dur menyinggung masalah kegagapan masyarakat Indonesia yang mengindentifikasikan kebudayaan Arab sama dengan kebudayaan Islam.

Sebagian masyarakat Indonesia saat itu memang cenderung memahami bahwa budaya yang islami adalah hal yang serba Arab. Sedangkan di luar itu adalah budaya non Islami yang harus ditenggelamkan. Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Gus dur dalam hidupnya

Gus Dur menilai kecenderungan tersebut tidaklah tepat. Karena, itu hanya akan menyebabkan masyarakat Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri. Apalagi, budaya kebudayaan Arab tersebut belum tentu cocok dengan kehidupan masyarakat Indonesia.

Persoalan kebudayaan tersebut dijelaskan Gu Dur di dalam buku berjudul “Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan” yang diterbitkan The Wahid Institute. Ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi dalam tulisan Gus Dur di buku tersebut.

Salah satunya yaitu terkait dengan adanya kecenderungan formalisasi ajaran Islam ke dalam seluruh manifestasi kebudayaan Indonesia. Contoh sederhananya, pakaian batik atau sarung diganti dengan jubah. Kemudian, kerudung diganti dengan cadar dan lain sebagainya. Jika demikian, maka dikhawatirkan kebudayaan asli Indonesia lama-lama akan terhapus.

Mantan Ketua Lembaga Senin Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU, Sastro Al Ngatawi menjelaskan, pemikiran Gus Dur tersebut muncul karena masyarakat Indonesia saat itu banyak yang salah membedakan antara arabisme dan Islamisme.

 “Bagi Gus Dur banyak yang salah paham antara membdedakan antara arabisme dan Islamisme,” ujar Sastro kepada Republika, Kamis (2.1).

Menurut dia, Gus Dur pernah mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia itu untuk mengenalkan ajaran-ajarannya bukan untuk meghancurkan atau melibas tradisi dan kebudayaan yang suda ada. Karena itu, melalui pemikirannya, Gus Dur melawan kecenderungan masyarakat Indonesia tersebut.

“Itu kan statemen Gus Dur, karena ini untuk mengahdapi adanya kecendurungan islamisme yang identik dengan budaya Arab, sehingga yang dikedepankan adalah arabismenya bukan islamisasinya,” ucapnya.

Sastro mengatakan, Islam tidak hanya kebudayaan dan simbol saja, tapi Islam merupakan agama yang membawa spirit, nilai, dan ajaran-ajaran mulianya. Namun, menurut dia, saat ini mulai banyak orang yang mengabaikan ajaran mulia itu demi kebudayaan Arab.

“Nah Sekarnag banyak orang mengabaikan ajaran mulia itu demi kebudayan Arab, sehingga seolah-olah kalau sudah dibungkus dengan budaya Arab itu tidak islami,” kata Eks Juru Bicara Gus Dur ini.

Gus Dur dan kebudayaan

Sebagai orang dekat Gus Dur, Sastro Al-Ngatawi mengungkapkan pandangan-pandangan Gus Dur tentang kebudayaan secara umum. Menurut Sastro, Gus Dur memandang kebudayaan itu tidak hanya sekadar karya tapi juga bagain dari laku hidup.

“Kebudayaan bagi Gus Dur tidak hanya sekadar karya, tapi juga menjadi bagian dari laku hidup manusia dalam rangka mengembangkan potensi diri untuk menegakkan harkat dan nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Sastro.

Selain itu, lanjut dia, kebudayaan bagi Gus Dur tidak hanya sekadar sesuatu yang material dan rasional tapi juga sesuatu yang imaterial dan spiritual. Artinya, Gus Dur mencoba membangun kebudayaan dengan menggabungkan spiritualitas dan rasionalitas.

“Ini yang membuat Gus Dur keliling ke kuburan, sowan ke kiai-kiai sepuh ahli spiritual, karena itu bagian dari konstruk kebudayaan yang dipahami Gus Dur. Jadi tidak semata-mata yang rasional tapi juga yang spiritual,” jelas Sastro.

Selama ini hubungan antara modernitas dan tradisionalitas juga selalu dipertentangkan. Modernitas  bahkan selalu dianggap lebih superior daripada tradisionalitas. Namun, menurut dia, bagi Gus Dur kedua hal itu sama-sama bagian dari kebudayaan yang tidak bisa dibenturkan. “Itulah pandangan-pandangan penting kebudayaan dari Gus Dur itu,” ucap budayawan NU asal Pati ini.

Saat Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Sastro melihat ada perubahan di DKJ. Secara kualitatif, menurut dia, setelah Gus Dur masuk ke DKJ wacana-wacana tentang agama dan fikih itu bisa mewarnai perdebatan di bidang kebudayaan.

Sementara, lanjutnya, saat DKJ dipegang oleh orang-orang yang “sekuler”, ada yang memandang bahwa kebudayaan di DKJ itu kebarat-baratan. “Nah, Gus Dur sepegetahuan saya mencoba mengimbangi pemahaman kebudayaan Barat minded itu dengan kebudayan Timur, terutama kebudayaan-kebudayaan nusantara yang memiliki perspektif keislaman,” kata Sastro. 

Solidaritas Palestina

Kebudayaan bukan hanya dilihat sebagai kesenian saja, kebudayaan pada dasarnya juga bisa menjadi perlawanan atau resistensi. Karena itu, pada saat Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Gus Dur pernah menyelenggarakan acara “Malam Solidaritas untuk Palestina” pada 1982.

Dalam buku berjudul “Gus Dur dalam obrolan Gus Mus” karya KH Husein Muhammad diceritakan, saat itu Gus Mus alias KH. Ahmad Musthofa Bisri diminta oleh Gus Dur untuk membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

“Saat itu Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang kemudian dikritik dan disindir oleh para kiai di mana-mana. Suatu hari, dalam acara rapat pengurus DKJ, Gus Dur melontarkan gagasan menyelenggarakan acara Malam Solidaritas untuk Palestina,” kata Gus Mus dikutip dari buku tersebut.

Gus Mus menceritakan, Rakyat Paletina saat itu sedang berjuang mati-matian untuk merebut kembali tanah airnya yang dicaplok Israel. Mereka adalah bangsa yang tertindas dan terusir dari tempat kelahirannya.

Lalu, Gus Dur mengusulkan agar acara “Malam Solidaritas untuk Palestina” itu diisi dengan pembacaan puisi-pusi karya penyair Palestina. Beberapa di antaranya adalah Nizar Qabbani, Mahmud Darwisy, dan lain-lain.

Banyak penyair terkemuka yang ikut ambil bagian dalam acara itu, seperti Taufik Ismail, Subagyo Sastrowardoyo, WS Rendra, hingga D. Zawawi Imron. Sayang, penyair-penyair itu tidak ada satu pun yang bisa membacakan puisi dalam bahasa Arab.

Tak kehilangan akal, Gus Dur pun menelpon Gus Mus untuk membacakan puisi penyair Palestina di aara tersebut dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagai penyair pemula, Gus Mus pun merasa grogi. Namun, penampilan Gus Mus dalam acara itu pun mendapatkan apresiasi. Sejak itulah Gus Mus semakin banyak melahirkan karya-karya puisi yang berisi kritikan.

Saat menjadi ketua DKJ, Gus Dur juga sempat mendapatkan kritikan dari para kiai NU. Namun, seperti biasanya Gus dur tak peduli. Ia tetap memilih untuk menggerakkan para sastrawan untuk menyuarakan kebenaran dan memberikan ruang ekspresi kepada mereka melalui acara Malam Solidaritas Palestina itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement