Kamis 02 Jan 2020 01:00 WIB

Shalat Berjamaah Harus Jadi Miniatur Kehidupan Bermasyarakat

Shalat berjamaah di masjid harusnya jadi miniatur dalam kehidupan

Rep: Djoko Suceno/ Red: Muhammad Hafil
Shalat berjamaah di masjid harusnya jadi miniatur dalam kehidupan . Foto: KH Athian Ali Dai memberikan tausiah pada gelaran Muhasabah Akhir Tahun Republika 2019 di Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai), Kota Bandung, Selasa (31/12).
Foto: Abdan Syakura
Shalat berjamaah di masjid harusnya jadi miniatur dalam kehidupan . Foto: KH Athian Ali Dai memberikan tausiah pada gelaran Muhasabah Akhir Tahun Republika 2019 di Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai), Kota Bandung, Selasa (31/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUII) KH Athian Ali Dai, Lc, MA, megatakan, shalat berjamaah di masjid harusnya jadi miniatur dalam membangun persatuan  dan kesatuan umat.

‘’Shalat berjamaah di masjid harusnya jadi miniatur dalam kehidupan  kita bermasyarakat dan bernegara . Selama tujuan kita sama-sama mencari ridha Allah dan dilakukan susuai Alquran dan Sunah harusnya umat Islam bersatu,’’ kata dia saat menyampaikan tausiahnya di acara Muhasabah Akhir Tahun 2019 yang digelar Republika Perwakilan Jabar di Masjid Pusdai, Jl Diponegoro, Kota Bandung, Seasa (31/12).

Baca Juga

Shalat berjamaah di masjid, kata KH Athian, menjadi tempat berbaurnya umat Islam, baik orang miskin, orang kaya, pejabat atau masyarakat biasa. Di dalam masjid, kata dia, semua sama dan tak mengenal pangkat dan kedudukan seseorang. Hanya ada satu tempat yang istimewa di dalam masjid yaitu untuk imam. ‘’Tempat yang istimewa di masjid hanya satu,  yaitu imam. Makmum tempatnya paling setengah meter. Imam bisa tiga meter sendiri. Makmum di lantai, imam menggunakan  karpet. Makmun pakai karpet,  imam karpet plus sajadah,’’ ujar dia.

Untuk menempati posisi imam tersebut, lanjut KH Athian, tentulah orang yang dianggap pantas karena memiliki ilmu agama yang tinggi. Dan untuk menempati posisi imam, kata dia, tidak melalui perebutan seperti kedudukan di pemerintahan. Ia mengaku  belum pernah melihat posisi imam diperebutkan.

Misalnya, kata dia,  menjelang adzan sudah ramai kampanye siapa jadi imam. Menjelang komat politik bagi-bagi amplop. Begitu komat langsung berantem antar pendukung imam yang satu dengan imam yang lain. ‘’Belum pernah saya menyaksikan hal seperti itu. Yang sering saya  jumpai di masjid justru saling dorong. Mangga di depan,’’tutur dia.

Ketika seseorang menjadi imam di masjid, sambung KH Athian, tidak akan merasa yang paling benar. Sebagai imam dia  berhak mengatur shaf untuk diluruskan. Dan makmun harus siap diatur oleh imam. Jangan coba-coba makmum lebih dulu takbir dari imam. Makmum harus  taat pada imam selama imam itu taat pada Allah dan Rasul. ‘’Taat pada  ulil amri (pemimpin)  itu kalau ulil amri itu taat pada Rasul. Maka ketika ulil amri itu berbuat salah,  si makmun harus segera mengingatkan dengan mengucap subhanallah (Maha Suci Allah). Saya belum pernah melihat di  masjid ada imam salah tidak mau dibetulkan. Ngak ada imam semaunya, otoriter,’’kata dia.

Cara membetulkan imam yang salahpun, sambung KH Athian, sangat luar biasa dengan menyebut subhallalah.  Dengan kalimat subhalallah, seorang  imam mengerti bahwa dirinya salah. Dengan ucapan Maha Suci Allah, seorang imam akan intropeksi.’’ Apa kesalahan saya . kecuali si imamnya kalau ngak ngerti-ngerti. Mengingatkannya pun dengan kalimat subhanallah, bukan dengan hey hey imam salah. Nggak,’’ujar dia.

Nilai-nilai yang diajarkan dalam shalat berjamaah seharusnya bisa diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. KH Athian mengungkapkan, jika umat Islam tidak bersatu berarti ada yang tidak beres. Pertama, kata dia, tujuannya sudah tidak lillahirabbil ‘ alamin (karena Allah SWT).  Mungkin, kata dia, yang sebagian berpegang pada lialahirabilalamin namun kelompok lainnya tujuannya hanya urusan dunia, jabatan, uang dan lain sebagainya. ‘’Atau tujuannya sudah sama lillahirabbil ‘ alamin tapi  tidak berpegang pada aturan Quran dan Sunnah. Selama beregang pada Quran dan  Sunnah tidak mungkin kita berbeda,’’ujar dia.

Athian mengibaratkan kehidupan seorang muslim itu seperti sebuah pohon. Serbuah pohon tentu memiliki akar yang kuat  menghujam ke dasar tanah. Sedangkan  dahan dan rantinynya menjulang ke langit. Dengan demikian pohon itu akan tumbuh subur dan berbuah. Buah tersebut bisa  dinikmati oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.’’ Akar pohon itu itu adalah aqidah . Dahan dan ranting yang menjulang ke langit adalah ibadah dalam kaitan hablum minallah. Buah pohon itu hablum minanas. Ini ngak boleh berbeda,  setiap muslim pasti sama mulai dari akar, rantig,  dahan, dan  buahn,’’tutur dia.

Menurut Athian, dimanapun umat Islam berada di belahan dunia ini akidahnya akan sama. Silahkan pergi ke Afrika, seperti negara Ethiopia, Chad, Somalia yang mayoritas penduduknya muslim. Umat Islam di negara Afrika menjalankan shalat fardu di lima waktu.’’Jumlah rakaat shalat subuh pati dua rakaat dan magrib tiga rakaat. Tidak mungkin di Afrika subuh empat rakaat magrib lima. Saum yang diwajibkan pasti di bulan ramadhan. Ibadah haji pasti ke tanah Suci di bulan Haji. Tanah Suci pati di Makkah dan wukup di Arahap pada tanggal 9 Zulhijah. Sama semua,’’ kata dia.

 

Selama umat Islam berpegang pada Quran  dan Sunnah, sambung Athian, pasti sama dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Kalaupun terjadi perbedaan, imbuh dia,  itu hanya pada ranting-ranting kecil. ‘’Kalau di usul berbeda berbeda pasti itu tak berpegang pana  Alquran dan Sunah. Paati sudah aliran sesat. Perbedaan di furud dari hasil  istihad para mustahid yang berbeda. Kenapa berbeda hasil istihad, karena tidak ada nas atau tidak ada nas sama sekali.’’tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement