Senin 06 Jan 2020 01:20 WIB

PBNU: RI Perlu Konsolidasikan ASEAN untuk Sikapi China

Konsolidasikan negara-negara ASEAN secara keseluruhan untuk membuat sikap bersama.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menilai, pemerintah Indonesia perlu mengonsolidasikan negara-negara ASEAN untuk membuat sikap bersama terkait persoalan teritorial di Laut China Selatan yang kerap dilanggar China. Apalagi negara ASEAN seperti Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Vietnam, juga sempat bersengketa dengan China.

"Konsolidasikan negara-negara ASEAN secara keseluruhan untuk membuat sikap bersama terhadap masalah ini. Karena bila Indonesia gagal mempertahankan kedaulatan teritorialnya, ya semua negara ASEAN menjadi tidak berdaulat juga. Siapa yang mau menghormati kedaulatan negara-negara ASEAN lainnya?," kata dia kepada Republika.co.id, Ahad (5/1).

Baca Juga

Selain melakukan konsolidasi ke negara-negara ASEAN, lanjut Kiai Yahya, langkah yang dapat dilakukan pemerintah yaitu membawa masalah tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Jika Indonesia diam saja, maka ini berbahaya bagi keseluruhan tata dunia.

Menurut Kiai Yahya, sikap Indonesia terhadap China soal Natuna hanya tegas dari sisi pernyataan. "Ini perlu ditingkatkan menjadi upaya diplomatik yang lebih luas dengan membawa masalah ini ke PBB. Karena ini merusak prinsip penghormatan kedaulatan teritorial dari negara yang berdaulat. Kalau tidak melakukan protes apapun, sama saja menyerah. Harus protes misalnya ke forum PBB," papar dia.

Kiai Yahya melanjutkan, sengketa batas wilayah di perairan Natuna antara Indonesia dan China ini jangan hanya menjadi isu bilateral tapi juga harus menjadi isu internasional. Pemerintah RI harus melakukan diplomasi secara lebih agresif, dengan menyerukan dunia internasional untuk melihat masalah ini sebagai ancaman terhadap tata dunia seluruhnya.

Kiai Yahya juga menegaskan, pemerintah RI harus bersiap secara pertahanan. Persiapan ini bukan bermaksud untuk menginginkan terjadi konflik militer. "Tapi kita harus bersiap karena ada potensi agresi terhadap wilayah kita," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement