Selasa 31 Dec 2019 10:50 WIB

Journey to Nangaman: Kisah Pedang Amir Timur

Di Asia Tengah bertabur makanan lezat yang halal

Memasak Doppi di Nangaman, Uzbekhistan
Foto: Uttiek M Panji Astuti
Memasak Doppi di Nangaman, Uzbekhistan

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

"Ini hadiah untuk Ibu. Silakan tulis nama untuk digrafir pada mata pisaunya," pintanya sambil menyodorkan secarik kertas.

"MasyaAllah!" Saya terpekik senang.

Seumur hidup saya belum pernah punya senjata tajam, kecuali pisau dapur yang digunakan sehari-hari. Tapi pisau yang disodorkan pada saya ini cantik sekali. Sarungnya dari kulit berwarna hitam dengan hiasan dan warna khas Asia Tengah.

Lebih istimewa lagi, pisau ini bukan sembarang pisau. Namun pisau yang dibuat oleh seorang suzangar (mpu). Ahli pembuat senjata yang telah tujuh generasi secara turun temurun berdedikasi dengan profesinya ini.

Tak tanggung-tanggung, leluhurnya adalah pembuat senjata untuk Amir Timur (Timur Lenk), Sultan Babur, dan pasukannya. Desa kecil bernama Chust yang saya singgahi ini memegang tradisi sebagai desa pembuat senjata sejak ribuan tahun lalu.

Konon, pedang Damaskus yang terkenal itu pun diproduksi di sini. Dengan baja-baja yang didatangkan langsung dari Damaskus. Masuk akal sebenarnya, mengingat jarak Damaskus yang "hanya" 6 ribuan km dari sini.

photo
Pisau khas Asia Tengah

Saat menerima bilah pisau itu, saya merasa seperti mujahidah yang akan menyertai pasukan Sultan Babur berjihad ke India.

Sang suzangar (mpu) yang bernama Rakhimjonaka ini sangat ramah. Ia tunjukkan pada saya dan Lambang bagaimana cara membuat senjata. Lalu ia keluarkan karya-karya yang pernah dibuatnya.

Termasuk pedang besar namun tipis yang bisa dilipat seperti samurai, yang dibuat secara khusus untuk seorang konglomerat pemilik ladang minyak di Rusia sekaligus pemilik klub sepakbola dunia Arsenal.

Alhamdulillah, usai menyelesaikan seluruh rangkaian umrah dan berziarah ke Madinah, Allah perjalankan saya dan Lambang ke negeri yang dalam sejarahnya bernama Turkistan, yakni Uzbekistan, Kazahstan, Tajikistan, Kyrgistan dan seterusnya.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Uzbekistan.Negeri dengan jejak sejarah yang berlimpah.

Ada dua hal yang membuat saya selalu terpesona dengan negeri ini: jejak sejarah dan bangunan-bangunan peninggalannya yang seakan tiada habisnya. Serta kehangatan hati penduduknya.

Setiba di Islam Karimov Tashkent International Airport dini hari, saya masih sempat istirahat empat jam sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Namangan.

Nama Namangan mungkin belum terlalu familier untuk orang Indonesia. Namun kalau menyebut Lembah Fergana, para peminat sejarah pasti tahu. Dulunya wilayah ini bernama Fergana.

Sekitar 100 tahun lalu, saat penjajahan Uni Soviet, wilayah ini dipecah menjadi beberapa provinsi. Salah satunya diberi nama Namangan. Tapi, nama Fergana juga masih digunakan untuk nama provinsi yang lain.

Di Namangan saya bertemu dengan Pak Mansur Yuldashev. Pria asli Namangan ini adalah dosen yang membuka program studi Bahasa Indonesia di Tashkent State Institute of Oriental Studies.

Olehnya, saya dipertemukan dengan Xotam Mamahajineb seorang jurnalis senior dari Uzbekistan News untuk interview buku Journey to Samarkand sekaligus meliput perjalanan saya untuk penulisan buku ke enam saya Journey to Silk Road ini.

Ada juga Doni, sepupu Sanjar Komilovich Turdiev yang pernah mendapat beasiswa belajar bahasa Indonesia di Universitas Atmajaya, Jakarta. Jadilah perjalanan yang difasilitasi oleh www.ziyarah-travel.uz, Uzbekistan, ini tak ubahnya seperti reuni keluarga.

Makan siang pertama di Namangan, saya dijamu di sebuah chayxana. Chay artinya teh, dan xana adalah rumah. Alias kedai teh.

Tradisi chayxana ini sudah ada di Asia Tengah sejak ribuan tahun lalu. Tak hanya di negara-negara Stan, tahun lalu saya juga sempat menyesap teh di sebuah chayxana yang umurnya lebih dari seratus tahun di kota Kashgar, Uighur.

photo
Seorang suzangar (mpu) tengah membuat pisau di Nangaman.

Menu yang dihidangkan siang ini sangat istimewa: nasi pilaf. Chef yang mengolahnya pun tak kalah spesial. Shokhzamon, seorang master chef yang sering memenangi kejuaraan memasak di Uzbekistan.

Saya diajak ke dapurnya. Dan diizinkan melihat bagaimana masakan yang lumer di lidah itu diolah. Pilaf atau pilav adalah penamaan yang populer di Asia Tengah dan Turki.

Di Afghanistan dan India Utara masakan ini disebut pulao atau pillaw. Di Uighur disebut polo. Sedang di Timur Tengah dilafalkan sebagai pilov. Dalam cerita Mahabharata, makanan serupa pilaf ini muncul dengan nama pallo atau pulao yang berasal dari bahasa Sansekerta kuno.

Usai menyantap pilaf, Pak Mansur mengajak saya mengunjungi keluarga yang turun temurun membuat doppi. Topi/penutup kepala khas Uzbekistan dan Asia Tengah.

Menariknya, pembuatan doppi ini hanya dikerjakan oleh para perempuan.

Secara berkelompok, ibu, menantu, anak gadis, tetangga, bersama-sama mereka membuat doppi yang bergiliran dari satu rumah ke rumah lain.

Rumah Mukhabbat opa yang saya kunjungi ini sangat hangat. Ruang tamunya berlapis sofa tipis dengan hiasan berupa motif bunga berwarna merah yang khas.

Bu Mukhabbat ramahnya luar biasa. Dia terus bicara dengan suaranya yang keras dan penuh semangat. Seakan-akan saya bisa mengerti apa yang diucapkannya. Dia menjelaskan cara membuat doppi.

Melalui Pak Mansur saya minta diterjemahkan beberapa pertanyaan yang membuat mereka tertawa. "Apakah gadis yang belum bisa membuat doppi belum boleh menikah?" "Gosip apa yang bicarakan saat bersama-sama membuat doppi?"

Butuh waktu seminggu untuk menyelesaikan satu buah doppi. Karena buatan tangan, harga doppi asli ini tidak murah. Sekitar 20 USD atau setara dengan Rp300.000.

"Menginaplah di sini," kata Bu Mukhabbat sambil menangkupkan tangan di bawah pipi, seperti orang tidur. Saya tertawa senang mendengar tawaran itu. Sebelum menolaknya dengan halus, "Saya harus melanjutkan perjalanan," jawab saya sambil meletakkan tangan kanan di dada kiri. Yang dalam tradisi mereka berarti, "Sungguh menyentuh hati."

Hari telah gelap saat saya keluar dari rumah itu. Padahal masih jam 5 sore. Karena di musim dingin, matahari lebih cepat kembali ke peraduan.

Di dalam mobil saya masih terkenang dengan tawa hangat para perempuan pembuat doppi. Mereka telah mencuri hati saya.

Assalamualaykum Namangan.

Namangan, 30 Desember 2019

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement