REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah radikalisme sudah kadung menjadi jargon pemerintah untuk memberantas terorisme di bumi Indonesia. Alasannya, radikalisme merupakan suatu paham yang mengamini tindakan dari kelompok tertentu untuk mengganti ideologi bangsa.
Istilah radikalisme yang dikaitkan dengan terorisme mulai menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Istilah radikal dianggap tak tepat dan belum tentu menjawab persoalan mengenai terorisme itu sendiri. Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) memiliki pembelaannya tersendiri dan masih menganggap adanya relevansi antara istilah tersebut dengan terorisme.
Ketua Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Nifasri, mengatakan, penyematan istilah radikalisme dengan terorisme bukan merujuk pada satu golongan atau kelompok tertentu. Menurutnya, radikalisme memiliki makna global yang merujuk pada terancamnya kedaulatan bangsa dan negara atas sikap radikal itu.
Dia juga menyebut, radikalisme tak pernah diidentikkan kepada umat tertentu semisal umat Islam. Baginya, radikalisme yang mengarah pada terorisme bisa saja dilakukan oleh agama ataupun kelompok tertentu.
“Radikalisme itu kan sudah umum ya, dan bukan ditujukan ke agama Islam. Jadi tidak menstigma agama tertentu,” kata Nifasri saat dihubungi Republika, belum lama ini.
Dia menjelaskan, istilah radikalisme bagi pemerintah adalah suatu keompok atau orang yang menggunakan ideologi tertentu secara berlebihan yang tujuannya untuk mengancam negara. Misalnya, radikalisme yang dimaksud kerap menghasilkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada peperangan kepada pemerintah ataupun penggantian ideologi negara.
Radikalisme juga menurut dia, dapat dipahami sebagai sebuah paham yang dianut oleh seseorang dan paham tersebut dipaksakan kepada orang lain. Sikap memaksa dalam paham tersebutlah yang ditentang oleh pemerintah.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah berupaya agar negara dan bangsa tidak dirusak oleh satu kelompok dan kepentingan tertentu yang bermodelkan radikal. Pihaknya berharap negara Indonesia tak dirusak oleh suatu paham yang keluar dari ajaran dan juga prinsip-prinsip kebaikan.
Dia mentontohkan, dalam agama Islam saja misalnya, prinsip-prinsip kebaikan ini selalu ditonjolkan. Selain menjunjung tinggi sikap cinta kasih atau rahmatan lil-alamin, agama Islam juga menjunjung tinggi pentingnya akhlak bagi penganutnya.
“Di samping poin rahmatan lil-alamin, Islam juga mengenal akhlak. Maka kalau ada yang radikal dan dia melakukan tindakan terorisme, pembunuhan dan sebagainya, tentu saja ini melanggar titah Islam,” kata dia.
Munculnya istilah radikalisme dan deradikalisme diklaim pemerintah untuk mencegah dan juga memberantas terorisme. Meski tak mengetahui secara persis, Nifasri menyebut bahwa pihaknya kerap dimintai masukan dan bekerja sama dengan Badan Inteligen Negara (BIN) untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terpapar radikalisme.
“Misalnya, yang saya tahu dari BIN ya, itu ada beberapa wilayah yang rapornya merah. Artinya cukup terpapar. Seperti Jawa Barat dan Banten misalnya,” ungkapnya.
Sementara itu sesuai kapasitasnya, kata dia, Kemenag hanya fokus mengurusi tindakan preventif agar radikalisme yang mengarah pada terorisme itu tak terjadi. Misalnya dengan merevisi kurikulum pendidikan agama ataupun memberikan bimbingan serta penyuluhan kepada murid dan guru yang dianggap terpapar atau rentan terpapar ideologi tertentu yang mengarah pada terorisme.
Hanya saja untuk langkah awal, dia mengklaim, Kemenag baru mengadakan dialog dan diskusi bersama tokoh-tokoh masyarakat, penggiat pendidikan, serta BIN untuk menyosialisasikan deradikalisme tersebut. “Untuk langkah awal, kita ke gurunya dulu, dialog dengan kepala-kepala sekolah, seperti itu,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran (Unpad), Deddy Mulyana, menilai, istilah radikalisme tak tepat jika disematkan pada terorisme. Menurut dia, radikalisme bersifat umum dan tak boleh disematkan pada simbol-simbol kelompok atau agama tertentu.
Menurut dia, penggunaan istilah radikalisme ini jika tak hati-hati dilakukan pemerintah maka akan berpotensi menimbulkan kegaduhan yang besar. Apalagi, kata dia, istilah radikalisme kerap menyasar simbol agama tertentu yang cukup mempunyai jamaah yang besar di Indonesia.
“Definisi radikalnya itu harus diperjelas, pemerintah harus bisa menerangkan apa itu radikal?” kata Deddy.
Yang terjadi saat ini, stigma radikal tersebut justru terlalu generik dan penggunaanya kerap liar. Apalagi baru-baru ini, kata dia, pemerintah melalui Kemenag secara gamblang menyatakan bahwa radikalisme kerap menyentuh simbol-simbol dan kelompok agama tertentu seperti Islam.
Hal itu seiring munculnya pernyaataan pemerintah dengan adanya paparan radikalisme di majelis taklim dan juga PAUD.
Efektivitas penggunaan istilah radikalime untuk memberantas terorisme pun dinilai tak tepat sasaran. Menurutnya pemerintah justru harus lebih hati-hati dan mengkaji ulang istilah tersebut dan lebih mendahulukan analisa dan terjun ke lapangan secara intensif.
“Kurang efektif saya rasa, enggak pas lah ya kalau pakai istilah radikalisme. Nanti penggunaannya jadi liar,” pungkasnya.