Kamis 26 Dec 2019 12:29 WIB

Asmah Syahruni, Wanita Baja Muslimat NU (1)

Asmah Syahruni menjadi ketua umum Muslimat NU setelah melalui perdebatan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Asmah Syahruni
Foto: Muslimatnu.or.id
Asmah Syahruni

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslimat NU merupakan organisasi kaum hawa yang cukup tua di Indonesia. Salah satu tokoh perempuan Indonesia yang pernah berjuang lewat organisasi ini adalah Asmah Syahruni. Dia merupakan sosok wanita pemberani dan pernah memimpin Muslimat NU selama tiga periode.

Untuk mencapai puncak kepemimpinan Muslimat NU tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Sebelum menjadi Ketua Muslimat NU, Asmah Syahruni harus berjuang keras sebagai pejuang wanita. Hingga akhirnya ia dikenal sebagai sosok ‘wanita baja’ karena sifat tegas dan kerasnya.

Baca Juga

Dalam buku berjudul "Membuka Ingatan: Memoar Tokoh NU yang Terlupakan" dijelaskan, Asmah Syahruni merupakan putra dari pasangan Bahujar dan Imur yang lahir pada 28 Februari 1927 di Rantau, Kalimantan Selatan. Ia anak pertama dari sembilan bersaudara. Sebagai anak yang paling tua, Asmah kerap menggantikan peran orang tua dalam hal tanggung jawab.

Asmah hidup di lingkungan keluarga Nahdatul Ulama. Sejak belia, ia telah banyak menerima pendidikan agama dari sang Ayah, Bahujar. Ayahnya mengajarinya membaca Alquran maupun pendidikan agama Islam seperti ilmu fikih dan tauhid.

Pada masa itu pendidikan umum masih sulit didapatkan dan anak perempuan yang bersekolah masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Namun, sebagai orang yang ingin maju, dia teguh dalam pendiriannya untuk masuk ke sekolah umum. Ia pun bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) di tanah kelahirannya.

Keinginan Asmah ini berbeda dengan prinsip yang dipegang keluarganya, yang mana dari kelurga sang ayah tidak ada perempuan yang sekolah. Dari pertentangan tersebut menyebabkan Asmah diberhentikan sekolah oleh sang ayah selama dua tahun. Namun, Asmah terap berhasil menyelesaikan pendidikannya bersama lima perempuan dari 25 orang rekan pelajarnya.

Ketika Asmah masih di sekolah dasar, bibinya sudah menjadi guru. Ia pun mulai menyadari bahwa bibinya adalah seorang nasionalis tulen. Dia diajari bibinya sebuah syair yang mengandung makna perjuangan untuk merebut kemerdekaan.

Pada saat itu, syair seperti semacam itu tidak ada yang berani melantunkannya secara terbuka. Begitupun dengan Asmah dan bibinya. Mereka hanya membaca atau melantunkan syair itu di dalam kamar. Syair itu berjudul “Di Timur Matahari” yang berbunyi:

Di Timur Matahari, mulai bercahaya, bangun dan berdiri kawan semua, marilah mengatur barisan kita, pemuda-pemudi Indonesia.

Setelah Asmah menjadi guru, ia dan bibinya terus menularkan pengetahuan kepada perempuan-perempuan yang tidak dapat mengeyam pendidikan sekolah. Asmah bahkan membentuk barisan pemuda dan pemudi untuk belajar yang pada saat itu masih difokuskan pada pidato, mengarang, seni sandiwara, dan kasidah.

Setelah itu, Asmah menikah pada usia 16 tahun, sedangkan suaminya, Syahruni berusia 19 tahun. Suaminya juga merupakan seorang guru. Setelah menikah, Asmah masih melaksanakan kegiatan mengajarnya dengan izin sang suami.

Namun, pergulatan Asmah di dunia pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada pendidikan umum saja, melainkan pendidikan agama juga. Bersamaan dengan karirnya sebagai seorang guru, Asmah juga aktif dalam mengikuti pendidikan keagamaan.

Berdasarkan rasa kekurangannya dalam soal agama, membuat tokoh wanita yang satu ini kerap mengikuti pengajian-pengajian kiai NU. Hal ini juga memberikan hikmah tersendiri baginya. Karena dengan aktivitasnya sebagai seorang jam’iyah pengajian pada waktu itu, membuatnya bisa mengenal dan dikenal oleh tokoh-tokoh NU.

Perjuangan 

Pada zaman pendudukan Jepang, Asmah Syahruni aktif di Fujinkai, perkumpulan wanita bentukan Jepang di daerah-daerah yang diketuai oleh bupati. Saat itu, semua organisasi wanita pribumi yang ada dibubarkan.

Akibat kekalahan Jepang dari Belanda menjadikan situasi yang tidak menentu. Peran Asmah sebagai guru kemudian dipakai menjadi penghubung antara pasukan pedalaman dan pasukan kota, dan penghubung makanan untuk orang yang peduli dengan perjuangan.

Setelah menjadi guru selama kurun waktu 1943-1954, dampak perjuangannya tersebut statusnya sebagai guru pegawai negeridicopot dengan tidak hormat. Namun, Asmah dan suaminya tetap bergelut menjadi pejuang hingga akhirnya suaminya diangkat menjadi letnan dan ditugaskan ke Martapura.

Asmah mengawali dunia barunya ketika NU menyatakan sikapnya keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri pada 1952. Aktivitas Asmah di organisasi wanita mengundang dirinya untuk berkiprah lebih luas. Ia merasakan itu ketika bergabung dalam organisasi kewanitaan NU. Ia beranggapan bahwa ajaran NU tidak mengekang wanita.

Asmah aktif di Muslimat NU sejak 1952. Ia kemudian diberi kepercayaan untuk memimpin Muslimat NU di Kalimantan Selatan dan mendapat hak untuk membentuk beberapa cabang. Ia pun memilih untuk fokus berjuang melalui Muslimat NU.

Pada 1954, Muktamar NU sekaligus kongres Muslimat NU digelar di Surabaya. Dari situ dia mulai dikenal banyak kalangan, bukan hanya dari kalangan wilayahnya sendiri di Kalimantan, tapi juga di luar Kalimantan seperti Jawa dan lain-lain.

Topik utama yang dibahas dalam muktamar NU tersebut adalah persiapan pemilu yang akan dilaksanakan pada 1955 dan Asmah dipilih sebagai anggota Panitia Penyusunan Calon anggota konstituante dan DPR untuk maju dalam pemilu mendatang.

Asmah pun menjadi perbincangan publik karena saat itu sangat jarang perempuan bisa tampil di panggung politik. Pada 1956, Asmah resmi menjadi anggota DPR sehingga berpindah tempat tinggal ke Jakarta.

Titik balik seseorang dalam menempuh perjuangannya tentu tidak bisa dilepaskan dari kekuatan mental, keberanian dan pengorbanan. Hal ini juga dialami oleh Asmah ketika ia melangkahkan kakinya ke Ibu Kota demi cita-cita besar dalam perjuangannya.

Pada 1979, Asmah kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Muslimat NU setelah melalui beberapa perdebatan. Disela-sela kesibukannya di DPR dan Muslimat, suaminya pun mendadak sakit dan meninggal pada April 1981. Asmah pun dilanda kesedihan yang mendalam.

Dalam buku karangan Ali Zawawi yang berjudul "Asmah Sjachruni: Muslimah Pejuang Lintas Zaman" dijelaskan, Asmah saat itu merupakan satu-satunya Ketua Muslimat yang berasal dari luar Jawa dan berhasil memimpin Muslimat dalam tiga periode yaitu dari 1979-1984.

Kemudian, Asmah dipercaya lagi untuk memimpin Muslimat pada periode 1984-1989 dan menjabat lagi sebagai ketua Muslimat NU pada periode 1989-1994. Hal itu membuktikan bahwa selain Asmah cukup dihargai dan mendapatkan penghormatan dari kalangan warga Nahdliyin, ia juga memiliki kecakapan dalam memimpin Muslimat NU.

Jatuh bangun berjuang besama Muslimat NU, tibalah saatnya ia berakhir dengan masa jabatannya di Muslimat NU pada 1995 di Kongres Jakarta. Namun, Asmah sangat mencintai Muslimat NU. Karena itu, walaupun telah melepaskan jabatannya sebagai ketua umum, Asmah masih mendampingi Muslimat dan kader-kader Muslimat NU dalam berbagai aktivitas. Hingga akhirnya ia wafat pada 2 Juni 2014.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement