Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Pohon-pohon terlihat meranggas tanpa daun dan bunga, menyisakan pemandangan dramatis di sepanjang jalan yang saya lalui. Udara dingin terasa menggigit. Orang-orang berjalan cepat untuk menghalau dinginnya.
“Lihat, rumah-rumah di sini berbeda. Atapnya datar. Tidak seperti atap rumah khas Tiongkok,” jelas pemandu saya selama di Xinjiang (Uighur), Mr Chang, memecah kesunyian.
Rumah di negara tropis umumnya beratap pelana seperti yang sering dilihat di Indonesia. Salah satu fungsinya adalah untuk mengalirkan air hujan. Bangunan di Cina umumnya juga beratap seperti itu dengan hiasan dan warna yang berbeda untuk menunjukkan status sosial bangunan tersebut.
Namun, rumah-rumah di Xinjiang berbeda. Deretan bangunan yang kita lewati lebih mirip arsitektur di Timur Tengah. Berbentuk kubus dan beratap datar. Rasanya seperti sedang berada di Jeddah ketimbang di Cina.
“Itu bangunan apa?” Tanya saya pada Mr. Chang saat melihat bangunan menyerupai pabrik dengan cerobong asap.
“Itu pabrik,” jawabnya singkat.
“Pabrik apa?” kejar saya.
“Pabrik kain.”
Sebuah bangunan di Uighur. (Uttiek M Panji Astuti)
Jawaban singkat itu mengingatkan saya pada berita tentang penangkapan orang-orang Uighur dan setelah menyelesaikan “pendidikan” di kamp mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik kain dengan bayaran yang sangat murah.
Ah, jangan-jangan….
Mr. Chang sepertinya tidak ingin melanjutkan obrolan tentang pabrik itu dan mengalihkan pembicaraan tentang Tuyoq Valley. Sebuah desa yang menjadi pemukiman orang Uighur sejak ratusan tahun lalu yang akan menjadi tujuan perjalanan selanjutnya.
“Ini memang sepi karena musim dingin atau desa ini memang sepi?” Tanya saya heran karena sedikitnya manusia yang terlihat lalu-lalang di jalan.
“Karena musim dingin dan karena penduduk desa ini sebagian besar sudah pindah ke pemukiman baru yang dibangun pemerintah,” jawabnya.
Mr Chang lalu menjelaskan kalau rumah-rumah tua itu sudah tidak layak ditinggali, karena rawan roboh serta korsleting listrik yang bisa menyebabkan kebakaran. Sebagai gantinya pemerintah menyediakan rumah-rumah baru dengan harga disubsidi sampai setengahnya.
“Ada di mana pemukiman baru itu?”
“Di sana,” tunjuknya. Yang entah di mana itu.
Saya tercenung sejenak. Benarkah penduduk desa yang mayoritas orang Uighur ini pindah ke tempat lain? Ataukah berita itu benar, kalau sekitar satu juta orang Uighur telah ditangkap dan dimasukkan ke kamp-kamp untuk menjalani “pendidikan?”
Rumah di Uighur. (Uttiek M Panji Astuti)
Banyak hal yang saya lihat di Xinjiang ini mengingatkan saya pada tanah Palestina. Rumah dan tanah yang dibeli. Perpindahan penduduk desa dalam jumlah masif. Persis seperti yang terjadi di sana.
Awalnya penduduk Palestina juga ditawarkan uang dalam jumlah tidak terbatas untuk menjual rumah dan tanah mereka pada Israel. Berapapun akan dibayar. Setelah tinggal sedikit yang tersisa, maka upaya represif berupa pemutusan listrik dan air mulai diberlakukan. Terakhir, kalau masih bertahan juga, maka buldoser akan meratakan rumah itu dengan tanah. Akankah hal serupa terjadi di desa ini kelak?
“Boleh berhenti di sini sebentar? Saya ingin foto,” pinta saya.
“Sure!” jawab Mr Chan santai.
Saya dan Lambang lalu turun dan memotret beberapa bangunan kosong di desa yang telah ditinggal penghuninya itu. Tiba-tiba, terdengar pengeras suara seperti menyiarkan sesuatu dalam bahasa China yang tidak saya mengerti.
“Apa itu?” Tanya saya.
“Itu seperti ajakan supaya orang-orang desa bersemangat bekerja,” jawab Mr Chang. Propaganda seperti itu memang lazim di negara-negara komunis.
Selesai memotret, kami melanjutkan perjalanan. Tuyoq Valley berjarak sekitar 55 km dari pusat Kota Turpan. Tak lama, Mr. Chang menghentikan mobilnya di sebuah pekarangan yang diportal. Seorang petugas keamanan yang berjaga menanyakan sesuatu sebelum membuka portal itu. Turun dari mobil, saya dan Lambang harus melalui pemindai orang dan barang seperti di bandara.
Beres urusan pemeriksaan, Mr Chang mengajak kita berjalan menyusuri jalan desa yang sempit. Desa ini telah ditempati orang Uighur sejak tahun 1.700. Dari kejauhan terlihat Tuyog Mazar Aldi, masjid pertama yang dibangun di tempat ini, penduduk setempat menyebutnya sebagai “Little Mecca”.
Konon, dalam tradisi setempat, sebelum berangkat haji, orang Uighur harus menziarahi Tuyog Mazar Aldi lebih dulu. Masjid ini sudah tidak difungsikan karena bangunannya yang sudah terlalu tua.
Tak jauh dari Tuyog Mazar Aldi ada masjid yang lebih baru yang didirikan. Tapi pintu masjid itu juga tertutup rapat.
“Kita tidak bisa masuk?” Tanya saya yang dijawab Mr. Chang dengan gelengan kepala.
“Sesuai peraturan baru pemerintah, masjid ini tidak lagi dipergunakan. Tapi kalau mau memotret di depannya, boleh.”
Innalillahi wa innailaihi rojiun…
Ini adalah informasi penutupan masjid yang pertama saya dengar. Ternyata kabar itu benar. Masjid-masjid di Xinjiang sudah tidak boleh lagi dipergunakan.
Saya dan Lambang hanya bisa saling pandang. Di depan masjid terlihat seorang perempuan sedang membuat perapian dari batang pohon anggur. Saya lemparkan senyum yang disambutnya dengan senyum.
Setelah dekat, setengah berbisik supaya tidak terdengar yang lain, saya ucapkan salam, “Assalamualaykum.” Perempuan itu melihat saya sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Entah takut. Entah apa.
Tak lama ia keluar lagi dan menyelesaikan perapian yang tadi ditinggalkan dengan tergesa. Kita bertiga menumpang menghangatkan badan. Saya minta Mr. Chang menanyakan siapa namanya? Yang dijawab, “Akima.”
Rupanya Akima ini adalah pedagang kismis atau anggur yang dikeringkan. Dagangannya digelar di pengkolan dekat rumahnya. Mr Chang lalu membeli beberapa kantong untuk anak laki-lakinya yang katanya sangat suka kismis. Kismis adalah salah satu produk unggulan Xinjiang yang terkenal sebagai sentra perkebunan anggur yang buahnya sangat manis.
Perempuan Muslim Uighur membuat perapian dari ranting pohon anggur. (Uttiek M Panji Astuti)
Saat Akima menimbang kismis, saya menatapnya lama. “Akima, kalau kamu mendengar, saya ingin bertanya, apakah kamu merindukan suara adzan dari masjid di depan rumahmu?” Tanya saya dalam hati.
“Shall we go now?” Tiba-tiba suara Mr. Chang mengejutkan saya.
“Oke,” jawab saya sambil sekali lagi menatap Akima menunggu jawabannya. Ia mengangguk dan melempar senyum bergurat kesedihan. Saya menganggap anggukan itu adalah jawaban pertanyaan saya.
Biidznillah, saudaraku. Dengan izin Allah, suatu saat nanti masjid itu akan dibuka lagi dan engkau akan kembali mendengar kumandang adzan dari sana.
Turpan, 3 Jaunari 2019