REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI – Desa Sukatenang yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi sudah dilanda kesulitan air bersih sejak 1980. Kondisi ini terjadi ketika dilakukan penyodetan Kali Bekasi untuk membuat Kali CBL.
Sebelum dilakukan penyodetan, air cukup berlimpah di Desa Sukatenang. Setelah itu ladang-ladang tidak bisa digarap lagi karena menjadi rawa-rawa. Kekeringan dan kesulitan air pun menjadi problematika hingga saat ini.
Setelah 39 tahun kekurangan air bersih, kini apa yang menjadi mimpi warga Desa Sukatenang terwujud setelah Pondok Sedekah Indonesia bersinergi dengan yayasan Elzatta serta Elfoundation membuat sumur air bersih untuk warga.
Perwakilan Elzatta dan Yayasan Elfoundation, Deden, berterima kasih kepada Pondok Sedekah Indonesia yang sudah menjembatani dan menyalurkan donasi untuk pembuatan sumur artesis di Desa Sukatenang.
“Semoga dengan sumur artesis ini bisa bermanfaat dan berkah. Karena dengan air ini, bapak-bapak dan ibu-ibu bisa menikmatinya, baik untuk wudhu hingga mandi. Sumur ini tidak hanya untuk kita tapi dapat digunakan untuk generasi-generasi selanjutnya,” ujar Deden dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (20/12).
Direktur Pondok Sedekah Indonesia, Aminto Setiawan, berterima kasih kepada Elzatta melalui yayasannya, Elfoundation atas pembangunan sumur di kampung Babakan, Desa Sukatenang.
Dia berharap, kerja sama pembuatan sumur tersebut bisa terus dilanjutkan ke kampung-kampung lainnya. “Karena masih ada 12 kampung lagi di Desa Sukatenang yang kekeringan,” ucap Aminto.
Sementara itu, perwakilan warga kampung Babakan, Ustaz Udin menyampaikan kegembiraannya dalam acara peresmian Sumur Artesis Desa Sukatenang, Kampung Babakan, Desa Sukatenang, Jumat (20/12).
“Alhamdulillah, mimpi kita untuk mendapatkan air bersih sudah tercapai. Kami sangat berterima kasih kepada Elzatta, Elfoundation dan Pondok Sedekah Indonesia," kata Ustaz Udin.
Dia pun menceritakan kondisi kampungnya sebelum adanya bantuan sumur air bersih tersebut karena sulitnya mendapatkan air, ladangnya selama ini tidak bisa ditanami padi.
Dia hanya berharap datangnya air hujan yang kemudian ditampung untuk mengairi sawah. “Tapi, kalau kelewat, ya nggak bisa ditanami. Jadi harus pintar-pintar menghitung kapan hujan atau tidak,” kata guru ngaji ini.
Warga Kampung Babakan lainnya, Agus juga menceritakan kondisi kampungnya yang selama ini kesulitan air bersih.
Menurut dia, sumur-sumur warga selama ini memgalami kekeringan, sehingga air yang menguning karena tercampur lumpur pun terpaksa dipakai warga untuk mandi hingga mencuci. "Di sini sangat sulit air bersih, ditambah kondisi saat ini musim kering. Tidak hanya bertani, buat mandi dan wudhu saja susah," kata Agus.
Untuk mendapatkan air bersih, tambah dia, selama ini warga harus mencari ke desa sebelah dengan membeli air minimal lima jerigen sehari dengan harga Rp 12.500. “Artinya kami minimal menghabiskan Rp 500 ribu per bulan untuk air. Ini terjadi sejak 1980 hingga sekarang,” jelas Agus.