REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Pengurus Besat Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa didekte oleh siapapun dalam bersikap. Sikap ini termasuk soal isu hak asasi manusia etnis Uighur.
Hal ini disampaikan Robikin menanggapi laporan laman daring The Wall Street Journal (WSJ) dengan judul "How China Persuaded On Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps" yang diterbitkan pada Rabu (11/12) kemarin.
"Soal adanya dana yang mengalir ke NU, saya sampaikan bahwa tidak ada dana itu. Dan NU tidak bisa didekte dan dikendalikan oleh siapapun, termasuk China," ujar Robikin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12).
Dalam laporan WSJ itu dipaparkan bahwa China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap sejumlah ormas-ormas Islam Indonesia setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018 lalu. Saat itu, isu Uighur mencuat usai sejumlah organisasi HAM Internasional merilis laporan yang menuding China menahan satu juta Uighur di kamp penahanan layaknya kamp konsentrasi di Xinjiang.
Pemerintah Beijing bahkan disebut membiayai puluhan tokoh seperti tokoh NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), akademisi, dan sejumlah wartawan Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang. Hal itu, menurut WSJ, terlihat dari perbedaan pendapat para tokoh senior NU dan Muhammadiyah soal dugaan persekusi Uighur sebelum dan setelah kunjungan ke Xinjiang.
Robikin mengungkan, berdasarkan data yang diterima NU, kamp-kamp di Uighur itu merupakan kamp pelatihan vokasi untuk memberdayakan masyarakat Uighur. Menurut dia, kamp itu justru dibuat untuk menjauhkan mereka Uighur dari ekstrimisme dan radikalisme yang tercipta di Xinjiang.
"Tidak ingin warganya terpengaruh paham itu, China pun mengatasinya dengan melatih warga dengan skill di kamp vokasi tersebut," kata Robikin.