REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jurnalis, penulis, sekaligus penyiar asal Inggris, Mehdi Hasan, menyebut raksasa media sosial Facebook sebagai mesin kebencian anti-Muslim dunia. Pernyataan itu diungkapkannya dalam sebuah artikel terbaru untuk The Intercept, sebuah publikasi berita daring.
Tulisannya itu seolah-olah diarahkan sebagai surat kepada CEO Facebook, Mark Zuckerberg. Ia meminta Zuckerberg menindak ujaran kebencian dan kefanatikan terhadap Muslim.
"Anda dan Facebook telah beralih dari meyakinkan Muslim ke memperkuat kebencian dan kefanatikan terhadap kami. Anda telah membiarkan apa yang oleh aktor Sacha Baron Cohen baru-baru ini gambarkan sebagai 'mesin propaganda terbesar dalam sejarah' yang digunakan untuk menargetkan dan menganiaya beberapa komunitas Muslim yang paling rentan di bumi," tulis Hasan dalam artikelnya, seperti dilansir di Press TV, Jumat (13/12).
"Tentu saja saya berbicara tentang Muslim Rohingya di Myanmar," katanya menegaskan.
Dalam artikelnya, Hasan mempertanyakan soal manajer kebijakan produk mereka sendiri, Alex Warofka. Dia pada November 2018 mengakui Zuckerberg dan koleganya di Facebook tidak cukup membantu mencegah platform mereka digunakan untuk memicu kekerasan secara offline di Myanmar. Lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke negara tetangga Bangladesh, setelah tindakan keras yang dilakukan militer Myanmar pada 2017. PBB menyebut hal itu sebagai sebuah tindakan genosida.
Ribuan Muslim Rohingya terbunuh, terluka, ditangkap sewenang-wenang, atau diperkosa oleh tentara Myanmar dan gerombolan umat Buddha. Peristiwa itu terutama terjadi antara November 2016 dan Agustus 2017.
"Bagaimana dengan komunitas minoritas Muslim India? Apakah nasib mereka membuat Anda terjaga di malam hari, Mark? Jika tidak, mengapa tidak?" Tanya Hasan.
Hasan mengatakan, pada Oktober lalu sebuah laporan oleh jaringan aktivis nirlaba Avaaz menuduh Facebook telah menjadi 'megafon untuk ujaran kebencian' terhadap Muslim di negara bagian Assam, India timur laut. Analis ini juga mengecam Zuckerberg atas penonaktifan akun Whatsapp Muslim di Kashmir.
Ia lantas mempertanyakan soal nasib Muslim di Sri Lanka. Hasan mengungkap soal anggota kelompok advokasi yang berbasis di Kolombo bernama Center for Policy Alternatives. Kelompok ini datang ke peusahaan Facebook dengan beberapa contoh video dan unggahan islamofobia yang meradang dan memanas di Facebook, termasuk, sebuah unggahan yang menyatakan, 'Bunuh semua Muslim, jangan selamatkan seorang bayi pun'.
Namun demikian, The New York Times melaporkan hampir setiap keluhan mereka itu mendapat tanggapan yang sama, yakni kontennya tidak melanggar standar Facebook. "Panggilan untuk membunuh semua Muslim Sri Lanka, menyebar melalui platform Anda, tidak mengganggu Anda? Tidak mengejutkan Anda?" Hasan bertanya pada Zuckerberg.
Hasan mengatakan realitas yang menyedihkan ialah di seluruh dunia maju dan berkembang, komunitas minoritas Muslim dianggap setan, dijadikan sasaran, dan diserang oleh kaum nasionalis sayap kanan. Menurutnya, kaum nasionalis sayap kanan ini dibantu dan bersekongkol, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh kaum liberal di Silicon Valley. Di sini, ia menekankan itu sebagai bentuk bantuan dari Facebook.
"Apakah ini benar-benar bagaimana Anda ingin diingat? Bukan sebagai pendiri perusahaan yang menyatukan dua miliar orang secara daring melalui meme lucu dan permintaan teman, tetapi sebagai pendiri mesin propaganda yang membantu menghasut dan mengatur pembunuhan massal ratusan orang dari ribuan Muslim?" katanya.
Sebelumnya baru-baru ini, Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan semua yang terjadi di Myanmar dilakukan melalui Facebook. Ia khawatir jika Facebook kini telah berubah menjadi sesuatu yang disebutnya sebagai 'binatang buas', dan bukan lagi sebagaimana tujuannya semula.