Jumat 13 Dec 2019 10:17 WIB

Pidato Guru Besar Haedar: Ganti Deradikal dengan Moderasi

Istilah moderat lebih tepat dalam melawan radikalisme.

Pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir. Prof Haedar Nashir menerima surat pengangkatan guru besar dari Rektor UMY Gunawan Budiyanto pada acara Pengukuhan Guru Besar di Sportorium UMY, Yogyakarta, Kamis (12/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir. Prof Haedar Nashir menerima surat pengangkatan guru besar dari Rektor UMY Gunawan Budiyanto pada acara Pengukuhan Guru Besar di Sportorium UMY, Yogyakarta, Kamis (12/12).

BANTUL -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir dikukuhkan menjadi guru besar ilmu sosilologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (12/12). Dalam pidato pengukuhan, Haedar mengusulkan agar pemerintah mengganti konsep deradikalisasi dengan gerakan moderasi. Haedar berpandangan, langkah-langkah yang moderat lebih tepat dalam melawan radikalisme.

Haedar menyampaikan pidato berjudul "Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi". Di pidato itu ia menekankan Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah-masalah radikalisme dalam dunia politik, ekonomi, budaya, hingga keamanan. Namun, Haedar menegaskan, semua itu wajib diatasi dengan cara moderat. "Mari kita akhiri deradikalisasi dan kita ganti dengan moderasi," kata Haedar di Sportorium UMY.

Acara pengukuhan Haedar sebagai guru besar UMY dihadiri sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Agama Fachrul Razi, serta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi.

Hadir pula sejumlah tokoh nasional seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla, mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Ketum PAN Zulkifli Hasan, politikus PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, mantan menteri kelautan dan perikanan Susi Pujiastuti, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah.

Haedar berpendapat, radikal dalam jangka pendek memang bisa dilawan secara radikal. Namun, hal itu akan menimbulkan radikalisme baru. Oleh karena itu, ia menawarkan penanggulangan radikalisme yang dilaksanakan secara moderat.

Reorientasi atau revisi konsep dan kebijakan deradikalisasi sangat penting, kata dia, dan relevan agar tidak muncul salah pandang dan salah sasaran dalam melawan radikalisme. Reorientasi itu tidak lantas bermakna membenarkan dan menutup mata adanya radikalisme keagamaan, terutama yang bersifat ekstrem dan membenarkan kekerasan seperti pada kasus terorisme atas nama agama.

Masalah radikalisme, lanjut Haedar, bukan persoalan sederhana dalam aspek apa pun di berbagai negara, sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam. "Hal itu menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme identik dengan kekerasan, lebih-lebih sama dengan terorisme. Karena pada dasarnya sejarah menunjukkan bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial."

Dia menjelaskan, Indonesia setelah reformasi, sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi pada sistem liberalisme dan kapitalisme baru. Paparan liberalisme dan kapitalisme ini bahkan lebih dari radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan. Radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ekstremisme beragama bagi masa depan Indonesia.

Oleh sebab itu, Haedar menegaskan, melawan radikalisme, ekstremisme, serta terorisme tidak dapat dilakukan secara linier, instan, dan bias dalam strategi deradikalisasi yang boleh jadi sama radikalnya.

"Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Seperti dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama," kata dia, menekankan.

Haedar kemudian mengajukan moderasi untuk menjadi alternatif dari deradikalisasi agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat. Ini bisa menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.

Selain memiliki penjelasan filosofis mendalam, kata dia, konsep moderasi juga berasal dari penggalan ayat dalam Alquran, yakni ummatan wasathan (umat yang moderat). "Fakta bahwa moderasi sebagai sebuah konsep ditemukan dalam agama dan tradisi lain, membenarkan gagasan bahwa moderasi sebenarnya merupakan sebuah gagasan universal," kata Haedar.

Penting dan relevan

Jusuf Kalla (JK) memuji pidato pengukuhan yang dibawakan Haedar Nashir. Ia menilai, pidato itu mengangkat bahasan yang sangat relevan untuk Indonesia saat ini dan sangat penting dipahami masyarakat Indonesia. JK berpendapat, tingkat pengetahuan Haedar memang telah teruji. "Harapannya, pengabdiannya akan lebih baik dan besar kepada kita semua bangsa Indonesia," kata JK.

JK mengatakan, istilah radikal memiliki makna positif dan negatif. Menurut dia, hal itu perlu dipahami karena pembicaraan tentang radikalisme menjadi bagian penting bangsa saat ini. Jika ingin dipahami secara positif, JK mengatakan, radikal memacu untuk melakukan perubahan yang cepat. "Reformasi itu radikal, jadi karena radikal pula kita ada di sini," kata JK.

Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan, Haedar memiliki semangat besar untuk meningkatkan identitas keislaman dan nasionalisme. Menurut dia, Haedar menekankan betul bahwa kedua hal itu merupakan satu kesatuan.

Fachrul menambahkan, Haedar dalam pidatonya juga menegaskan, seseorang tak bisa melihat suatu kebangsaan tanpa melihat keislaman. Begitu pula sebaliknya. "Jadi, meningkatkan identitas keislaman dan nasional atau bangsa yang merupakan satu keutuhan," ujar Fachrul.

Mantan ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif merasa pendekatan yang digunakan Haedar Nashir sangat berimbang. Khususnya mengenai radikalisme yang istilahnya sendiri banyak disalahpahami masyarakat.

"Jadi, radikalisme itu bukan dalam arti yang sempit, di mana-mana itu ada, tapi segala bentuk radikalisme yang negatif itu harus ditiadakan, dari manapun datangnya,\" kata Buya.

Rektor UMY Gunawan Budiyanto menambahkan, sosok Haedar Nashir selama ini telah memberikan teladan yang baik dan tepat. Tidak cuma untuk penerus-penerusnya, tapi juga bagi rekan-rekan sesama dosen.

"Dan, ini merupakan sebuah contoh konkret bagaimana berjuang di Muhammadiyah dan tidak mencari kehidupan dari Muhammadiyah," ujar Gunawan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement