REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Wakaf Indonesia (BWI) perlu menyelesaikan tiga masalah mendasar untuk meningkatkan pertumbuhan wakaf. Yakni, masalah literasi wakaf, kapasitas pengelola wakaf, dan penganekaragaman wakaf.
"Pertama soal literasi, sosialisasi tentang perwakafan yang bahasa positifnya masih harus ditingkatkan, bahasa negatifnya rendah," kata Ketua Badan Pelaksana BWIMohammad Nuh saat menyampaikan keterangan pers mengenai Rapat Koordinasi Nasional Badan Wakaf Indonesia di Jakarta, Rabu (11/12).
Menurut dia, perlu ada terobosan untuk meningkatkan literasi wakaf yang rata-rata masih rendah di berbagai daerah di Indonesia. Kalau literasi wakaf sudah meningkat maka kesadaran untuk wakaf akan tumbuh dan jumlah pewakafatau wakifakan makin banyak.
Selain itu, menurut Nuh, kapasitas pengelola wakaf atau nadzir mesti dibangun.
"Kalau nadzir bagus maka akan memberi nilai tambah dari wakaf. Kalau tidak maka berat," kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Ia mengatakan BWI menjalin kemitraan dengan Komite Nasional Keuangan Syariah untuk meningkatkan kapasitas nadzirlewat sertifikasi. "Nadzir ini agar certifieddengan tiga jenjang. Terendah levelsatu, misalnya untuk mengelola aset sederhana wakaf tanah masjid. Paling rumit kalau sudah leveltiga, bisa berupa pengelolaan aset uang dan investasi. Kalau aset tanah keliru pengelolaan, tanah tetap ada di situ. Kalau kelola duit keliru, duit hilang tinggal catatan," katanya.
Nuh juga mengemukakan pentingnya penganekaragaman aset wakaf. Selama ini, wakaf lebih lekat dengan wakaf tanah, padahal aset wakaf sebenarnya punya banyak ragam. Dia menambahkan,BWI baru saja meneken kerja sama dengan Telkomsel sehingga pengguna layanan tersebut bisa mengonversipoint rewardmenjadi aset wakaf.
"Daripada poin itu hangus, maka kita kerja sama dengan Telkomsel, poin-poin itu bisa dikonversi ekuivalen jadi berapa rupiah," katanya.