Senin 09 Dec 2019 14:27 WIB

KH Raden Hadjid Pencatat Ajaran KH Ahmad Dahlan (1)

KH Raden Hadjid berguru langsung kepada KH Ahmad Dahlan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Raden Hadjid
Foto: Blogspot.com
KH Raden Hadjid

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhyiddin / Wartawan Republika

Baca Juga

Ikatlah ilmu dengan tulisan. Begitulah sabda Rasulullah SAW menurut riwayat yang sahih. Anjuran tersebut diamalkan betul oleh salah seorang murid Kiai Haji Ahmad Dahlan, yaitu KH Raden Hadjid. Dia merupakan murid termuda dari sang pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.

Kiai Hadjid sangat rajin mencatat berbagai ajaran yang disampaikan oleh sosok berjulukan sang pencerah itu. Beberapa catatannya terhimpun dalam dua buku, yakni Falsafah Peladjaran KH Ahmad Dahlan dan Adjaran KH A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-ayat alQur'an.

Karya-karya Kiai Hadjid menjadi penyambung legasi intelektual Kiai Dahlan untuk generasi kemudian. Oleh karena itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah menerbitkan ulang dua karya tersebut menjadi satu buku utuh berjudul Pelajaran KH A Dahlan: 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur'an.

Di kalangan Muhammadiyah sendiri, Kiai Hadjid kerap di juluki sebagai Singanya Muhammadiyah. Hal ini disebabkan dirinya saat berpidato selalu tampil dengan penuh semangat berapi-api. Bahkan, pada masa tuanya dia juga menerima julukan Jago Tuanya Muhammadiyah.

Kecintaan Kiai Hadjid terhadap dunia tulis-menulis disalurkan melalui majalah-majalah Islam yang terbit pada zamannya. Ketika Kiai Dahlan menggagas penerbitan Suara Muhammadiyahpada 1942, Kiai Hadjid pun ditunjuk menjadi anggota redaksi.

Dalam buku 100 Tokoh Muham madiyah yang Menginspirasi, KH Raden Hadjid disebutkan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 20 Agustus 1898. Dia merupakan putra pertama dari pasangan Raden Haji Djaelani dengan R Ngt Muhsinah. Sejak kecil, dia sudah ditempa untuk memiliki keberanian, sikap istiqamah, dan wara'ah.

Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar sejak 1903 hingga 1909. Selanjutnya, dia mendampingi sang ayah per gi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.

Di kota suci, Hadjid belajar agama Islam kepada sejumlah ulama besar, seperti Kiai Fakih, Kiai Humam, dan Kiai Al Misri. Satu tahun lamanya rihlah keilmuan itu dijalaninya. Setelah itu, dia kembali ke Tanar Air, tepatnya Keraton Yogyakarta. Ber bekal pengalaman dan penge tahuan yang diperolehnya dari Tanah Suci, Hadjid muda mulai bergiat dalam dunia dakwah Islam.

Keilmuannya pun sudah me ningkat. Ia telah pandai dalam hal baca tulis bahasa Arab dan mengaji Alquran. Namun, dia masih bersemangat untuk terus menimba ilmu.

Oleh karena itu, dia pun melanjutkan pendidikan agama ke Pondok Pesantren Jamsaren Sura karta (Jawa Tengah). Lembaga tersebut berdiri sejak 1750 atas prakarsa Sunan Paku buwono IV serta menjadi salah satu pondok pesantren tertua di Pulau Jawa. Namanya berasal dari Kiai Jam sari, seorang ulama asal Banyumas yang sengaja didatangkan Sunan Pakubuwono IV.

Di Pesantren Jamsaren, Hadjid muda memperdalam ilmu keislaman, seperti qira'at, tafsir, fikih, dan tata bahasa Arab. Saat mondokmdi pesantren ini, dia juga berjumpa dengan KH Ghozali yang kemudian hari mendirikan Pondok Pesantren Nirbitan, tak jauh dari kompleks Pesantren Jamsaren.

Setelah belajar di Jamsaren, Hadjid kemudian melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Tremas dan sekolah di Madrasah Menengah Tinggi, sejak 1913 hingga 1915. Di sana, Hadjid belajar kepada KH Dimyati dan KH Bisri.

Keduanya merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang terkenal. Di Pesantren Tremas inilah para kiai Nahdliyin dan Muhammadiyah banyak belajar. Sebut saja Kiai Basyir, Kiai Haji Ahmad Azhar, Kiai Haji Wahid, atau Kiai Haji Badawi.

Selepas dari Termas, Hadjid kemudian belajar di Madrasah Tinggi al-Attas Jakarta. Dia terus menimba ilmu di sana selama empat tahun sejak 1917. Saat berusia 20 tahun, Hadjid me nikahi seorang gadis bernama Siti Wasilah binti RH Ahyat.

Pernikahan berlangsung pada 19 Januari 1918 secara khidmat dan sederhana. Siti Wa silah merupakan murid perempuan pertama di Sekolah Qismul Arqa', yang didirikan Kiai Haji (KH) Dahlan. Sekolah itulah yang menjadi cikal-bakal Madrasah Mu'allimat Muham madiyah.

Seperti halnya Hadjid, Siti Wasilah juga gemar mengumpulkan catatan tentang berba gai ajaran Kiai Ahmad Dah lan. Oleh karena itu, perempuan tersebut ditunjuk menjadi ketua pertama Siswo Proyo, yang akhirnya menjadi Nasyiatul `Aisyiyah.

Setelah lulus dari Madrasah Tinggi al-Attas Jakarta, Hadjid mulai mempelajari keorganisasian. KH Ahmad Dahlan menjadi rujukannya. Saat itu, Hadjid sudah diangkat menjadi guru di Standaard School Muhammadiyah dan HIS Muhammadiyah. Antara tahun 1921 dan 1924, Hadjid bertugas sebagai guru agama pada Kweekschool Muhammadiyah.

Kariernya sebagai pendidik terus meningkat. Sepanjang tahun 1924-1941, Hadjid di amanati sebagai kepala Madra sah Muallimin Muhammadiyah. Memasuki masa pendudukan Jepang, dia mendapatkan tugas sebagai Fuku Sumuka Tjo Koti Zimokyoku alias Kantor Lembaga Agama di Kotabaru, Yogyakarta.

Pada masa itu, banyak ulama yang ditangkap Jepang dan disiksa secara kejam. Ketika menjabat sebagau Fuku Sumuka, Kiai Hadjid berkesempatan untuk membebaskan para kiai dan ulama melalui jalur advokasi dan mediasi. Dengan cara ini, dia terlibat dalam resistansi melawan kesewenangwenangan Dai Nippon.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, berbagai organisasi di Tanah Air mulai konsolidasi. Kiai Hadjid dipercaya menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Jawatan Agama di Yogyakarta. Sekolah Tinggi Islam (STI, kini menjadi Universitas Islam Indone sia/UII) berdiri pada 1945. Setahun kemudian, Kiai Hadjid masuk sebagai dosen kampus tersebut hingga 1947. Sebelumnya, dia sempat memberikan kuliah umum tentang ilmu tauhid dalam acara di STI yang dihadiri antara lain Presiden Ir Sukarno.

Kiprah di Muhammadiyah

Kiai Hadjid merupakan murid langsung dari KH Ahmad Dahlan. Sebagai anak didik dari sang pencerah, dia juga sering mendapat tugas untuk mewakili Persyarikatan Muhammadiyah dalam berbagai rapat yang diselenggarakan organisasi Islam maupun nasional.

Dalam usia yang relatif muda, Kiai Hadjid sudah duduk sebagai anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di tingkat pimpinan pusat, Kiai Hadjid pernah menduduki berbagai jabatan, seperti wakil ketua majelis tarjih, ketua majelis tarjih, dan ketua majelis tabligh.

Selama 1966-1977, dia dipercaya sebagai penasihat PP Muhammadiyah. Dia juga banyak mendampingi kepe mim pinan Muhammadiyah ketika dipegang KH Ibrahim, KH Hisyam, KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Buya AR Sutan Mansur, H A Yunus Anis, dan KH Badawi.

Antara tahun 1928 dan 1942, Kiai Hadjid menjadi wakil ketua majelis tarjih. Saat itu, PP Muhammadiyah dipimpin KH Mas Mansur. Pada 1951-1957, dia diangkat menjadi ketua majelis tarjih PP Muhammadiyah.

Salah satu jasa besar Kiai Hadjid dalam lingkup persyarikatan ini ialah membentuk kepanduan Muhammadiyah. Namanya, Hizbul Wathan yang secara harfiah berarti `Pembela Tanah Air.' Dia membentuk kepanduan itu bersama seorang guru Muhammadiyah, KH Muhtar, dan mantan polisi zaman Belanda, Syarbini. Sampai saat ini, Hizbul Wathan terus berkembang dan maju.

Berjuang di medan politik

Dalam dunia politik pergerakan, Kiai Hadjid aktif dalam gerakan perjuangan kemer dekaan nasional. Berbagai amanah pernah diembannya. Misalnya, selaku ketua Masyumi, ketua Hizbullah, Fuku Syumuka, dan pimpinan Angkatan Perang Sabil.

Pada masa penjajahan, rakyat Indonesia mengalami penderitaan berlipat-ganda, baik secara ekonomi, politik, sosial, mau pun pendidikan. Sebagai un sur mayoritas, umat Islam juga mendapat perlakukan yang tidak adil. Dalam dunia perdagang an, misalnya, pemerintah ko lonial menjadikan kalangan pri bumi sebagai yang paling diru gikan.

Sarekat Dagang Islam (SDI)berdiri pada 1911 di Solo untuk me nentang ketidakadilan sistem kolonial. Pendirinya, Haji Samanhudi merupakan seorang pedagang yang saleh. Untuk selanjutnya, SDI kian berkembang di bawah pengaruh HOS Tjokroaminoto. Organisasi terse but kian mendapat sambutan baik dari rakyat, utamanya kaum Muslimin, termasuk ketika berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI).

Kiai Hadjid turut bergabung dalam SI. Pada saat itu, organisasi tersebut mendapat ujian hebat ketika disusupi unsur-unsur beraliran komunisme. Kiai Hadjid hampir saja tak melihat kaum komunis sebagai bahaya bagi pergerakan SI. Belakangan, tokoh SI KH Agus Salim mengingatkannya tentang kelihaian orang-orang komunis.

Pada 1918, Kiai Hadjid diangkat sebagai Pengurus SI Cabang Yogyakarta. Sarekat Islam dalam perkembangannya kerap mengkritik berbagai kebijakan gubernur jenderal Hindia Belanda yang merugikan rakyat.

Tak hanya di SI. Keaktifan Kiai Hajdid juga mengemuka dalam Muktamar Alam Islami Hindi as-Syarqiyah (MAIHS). Istilah Hindi as-Syarqiyah berarti Hindia Belanda, atau sebutan Indonesia pada masa penjajahan. Muktamar tersebut merupakan suatu kongres akbar umat Islam level nasional. Kiai Hadjid saat itu terpilih sebagai ketua Persatuan Umat Islam untuk wilayah Yogyakarta.

Sepanjang perjalanan hidup nya, Kiai Hadjid selalu berupaya melakukan yang terbaik demi Islam, baik melalui jalan politik pergerakan maupun pen didikan. Kiai Hadjid mening gal dunia dengan tenang di rumahnya yang terletak di Kauman, Yogyakarta, pada Ka mis ma lam Jumat.

Kiai Hadjid mewarisi banyak karya, antara lain Kalimah Syahadah Bahasa Jawa;Tafsir Al-Fatihah; Pedoman Dakwah Umat Islam; Pedoman Tabligh Bahasa Jawa Jilid I-IIIII; Buku Fiqh; Tafsir al-Qur'an juz 1-8; Falsafah Peladjaran KH Ahmad Dahlan; danAdjaran K.H.A. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-ayat al-Qur'an. 

 

 

sumber : Koran Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement