REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia Mohammad Zahri mengatakan, pendidikan Islam harus beradaptasi dan berpacu mengikuti kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, identitas dan jati diri pendidikan Islam tetap harus memiliki tujuan pasti agar nantinya pendidikan tidak bergeser.
“Pendidikan Islam seharusnya tidak hanya menghasilkan tenaga kerja semata. Namun, lebih dari itu, yaitu lahirnya sumber daya manusia (SDM) strategis yang memiliki ketakwaan kepada Allah SWT. Serta memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan sesuai zamannya, mencintai Indonesia, dan NKRI,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Ahad (8/12).
Kemudian, lanjut Zahri, tugasnya di Sekolah Islam Terpadu membuat karya terbaik dan menghasilkan generasi atau SDM strategis untuk Indonesia ke depan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk menciptakan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT.
Zahri mengajak seluruh komponen institusi pendidikan Islam untuk kembali meletakkan tujuan pendidikan nasional menuju kemajuan bangsa. Pendidikan Islam diarahkan kepada persatuan dan tidak memecah-belah bangsa.
“Mari kita sadari betul tujuan pendidikan Islam. Mestinya, punya kemauan dan kemampuan untuk membangun negara dengan mencintai negaranya. Tidak ada pendidikan Islam yang mengajarkan membenci negaranya. Tidak ada pendidikan Islam yang mengajarkan memecah-belah persatuan bangsa,” kata dia.
JSIT Indonesia menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) pada 7-8 Desember diikuti oleh 175 peserta. Mereka berasal dari 78 Pengurus Pusat, 63 Pengurus Wilayah di 34 Provinsi, dan 27 Pengurus Wilayah bidang sosial kemanusiaan.
Ketua Dewan Pembina JSIT Sukro Muhab mengatakan, JSIT bukan sekolah penghasil radikalisme. Menurut dia, justru di Sekolah Islam Terpadu, anak-anak ditumbuhkan sikap mencintai bangsa dan Tanah Air Indonesia.
“Kami sikapi adanya stigma buruk dengan bijak, meliputi dengan penguatan nilai-nilai Islam, meluruskan stigma radikalisme, menguatkan konsesus dasar nasional, objektivitas sumber-sumber keilmuan, counter isu dengan kajian, performance aktivis pendidikan, penyempurnaan pemahaman Islam yang tepat dan benar, tingkat komunikasi dengan unsur pemerintahan, berintegrasi dengan kearifan lokal, bersinergi dalam mewujudkan pembangunan, dan bedah sejarah perjuangan tokoh-tokoh Islam,” kata Sukro yang pernah memimpin JSIT Indonesia sejak 2006-2017 lalu.
n haura hafizhah, ed: mas alamil huda