Ahad 08 Dec 2019 18:55 WIB

Ketua Komisi VIII: Pemerintah Fobia dengan Sejarah Islam

Komisi VIII DPR akan mengonfirmasi secara langsung kepada Menteri Agama Fachrul Razi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mempertanyakan kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) yang akan menghilangkan materi pembelajaran maupun ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad. Yandri menyebut, pemerintah dalam hal ini Kemenag memiliki ketakutan luar biasa atau fobia terhadap sejarah Islam.

Yandri pun memastikan Komisi VIII DPR akan mengonfirmasi secara langsung kepada Menteri Agama Fachrul Razi dan jajarannya terkait alasan mengeluarkan kebijakan tersebut. "Apa yang melatarbelakangi sehingga ada suatu yang luar biasa seperti itu, saya khawatir sepertinya Pemerintah terlalu fobia dengan sejarah Islam," ujar Yandri saat dihubungi wartawan, Ahad (8/12).

Baca Juga

Yandri menyebut, materi khilafah, jihad maupun perang merupakan bagian dari sejarah Islam yang tidak bisa dihapus. Ia tidak sepakat jika siswa yang belajar materi khilafah, jihad dan perang kemudian kelak dia akan menjadi radikal.

Ia pun membandingkan jika dalam sejarah terdapat materi PKI, Nazi, dan sebagainya, tidak kemudian menjadikan siswa tersebut mengikuti paham tersebut. "Kan takut dengan khilafah, ya kan padahal belum tentu kan, sama kayak belajar tentang sejarah PKI, masa saya disebut PKI, menyederhanakan persoalan itu menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan justru akan mendatangkan persoalan baru," ujar politikus PAN.

Justru, kata Yandri, Pemerintah bisa memeberikan pemahaman yang benar terhadap materi tersebut, dengan disesuaikan dengan ideologi dan budaya Indonesia. Dengan demikian, siswa memiliki bekal yang benar terkait materi tersebut sejak di pendidikan.

Sebab, Yandri menilai, di era saat ini, materi terkait khilafah, jihad maupun perang, tidak hanya ada di kurikulum tetapi juga bisa diakses melalui daring. "Ya kalau itu dihapus, mereka yang selama ini tidak engeh dan tidak terlalu punya perhatian khusus dengan istilah itu, justru bisa mengakses secara liar, dan ketika mereka tertarik tentang itu justru menjadi tantangan bagi pemerintah," ujarnya.

Karena itu, Yandri meminta Kemenag untuk berhati- hati dalam mengambil kebijakan. Menurutnya, Pemerintah sebaiknya mencari akar permasalahan radikalisme dan terorisme secara tuntas sebelum kemudian membuat kebijakan yang memunculkan persoalan.

"Jadi jangan memadamkan api yang kecil justru timbul api yg besar, ada semacam ketidaksempurnaan Pemerintah dalam menghadapi radikalisme terorisme, akar masalah belum ketemu tapi sudah meraba raba tapi langsung mengambil keputusan," kata dia.

Sebelumnya, Kementerian Agama melalui surat edaran tertanggal 4 Desember memerintahkan Kepala Bidang Pendidikan Madrasah/Pendidikan Islam mengimplementasikan KMA Nomor 183 Tahun 2019. Salah satunya, seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti.

Penghilangan materi khilafah dan jihad sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162, dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI. Kementerian Agama (Kemenag) menginginkan materi ujian di madrasah lebih mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi.

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Umar, menjelaskan, yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau kekanan-kananan atau kekiri-kirian juga dihilangkan.

Dia mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi juga dihilangkan. "Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah," kata Umar, Sabtu (7/12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement