REPUBLIKA.CO.ID,
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ: صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Diriwayatkan dari Ibn Buraidah, dari Imran bin Hushain Ra, ia berkata: “Aku menderita penyakit wasir, lalu Aku bertanya tentang shalat (dalam kondisi sakit) kepada Nabi Saw. Kemudian beliau menjawab: “Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, dan bila tidak mampu maka dengan tidur miring.” (HR al-Bukhari)
Berkaitan dengan hadis ini, sering kita jumpai di masjid-masjid sebagian jamaah yang menderita sakit kemudian shalat dengan duduk di atas kursi.
Praktik shalat duduk mereka bervariasi, ada yang menjadikan duduk sebagai pengganti posisi berdiri, sehingga rukuk dan sujudnya dilakukan sebagaimana mestinya.
Ada yang duduknya itu dilakukan ketika saat menjalankan rukuk, i’tidal, dua sujud dan duduk akhir, ada yang sepanjang shalatnya dengan tetap duduk di kursi.
Ada pula yang shalat dengan berdiri, sedangkan rukuk dan sujudnya dilakukan sebagaimana lazimnya, namun duduk pemisah antara dua sujud dengan cara mengalaskan dua lutut dan dua tangannya di atas lantai (tanpa mengalaskan pantatnya di atas lantai). Itu hanya sebagian contoh praktik shalat bagi orang yang tidak mampu shalat sebagaimana mestinya.
Batasan kondisinya adalah saat seseorang melaksanakan shalat dengan berdiri akan terdapat masaqqoh sampai pada taraf yang tidak bisa ditanggung secara adatnya (masyaqqoh la tuhtamalu ‘adatan), (masyaqqah tudzhibu al-khusyu’) atau masyaqqoh yang diperbolehkan melakukan tayamum (masyaqqoh mubihut tayamum).
Sedangkan jika sampai pada taraf yang menghilangkan kekhusyuan maka ulama berbeda pendapat:
1. Menurut Imam Ibn Hajar tidak diperbolehkan duduk.
2. Menurut Imam ar-Ramli diperbolehkan duduk.
3. Sedangkan menurut Imam as-Syarqawi cukup taraf menghilangkan kesempurnaan kekhusu’an (izhab kamal al-khusyu’) seseorang sudah diperbolehkan shalat fardhu dengan posisi duduk.
Akan tetapi, meskipun seseorang telah memenuhi ketentuan diperbolehkan shalat dengan duduk sebagaimana di atas, namun hal itu tidak serta-merta memperbolehkannya shalat dengan cara duduk sepenuhnya.
Ia hanya boleh duduk pada saat sudah tidak dapat lagi berdiri, sesuai khilaf di atas. Lebih jelasnya perlu diketahui ketentuan sebagai berikut:
1) Bila ia tidak dapat mengerjakan shalat dengan berdiri di sepanjang pelaksanaannya meskipun dengan bantuan orang atau alat bantu, maka dalam kondisi seperti ini ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk sepenuhnya.
2) Bila ia tidak dapat mengerjakan shalat dengan berdiri di sepanjang pelaksanaannya kecuali dengan bantuan orang atau alat bantu, maka dalam kondisi seperti ini ulama berbeda pendapat. Sejumlah ulama di antaranya Ibn Hajar, menyatakan ia tetap harus shalat berdiri; sementara menurut sejumlah ulama lain termasuk al-Ramli, ia boleh sepenuhnya duduk. (Membedakan masyaqqah antara al-Mu’in dan al-‘Ukazah)
3) Bila ia dapat mengerjakan shalat dengan berdiri, namun pada saat bangkit berdiri dari sujud selalu membutuhkan bantuan orang atau alat bantu, maka dalam kondisi seperti ini ia belum diperbolehkan shalat dengan duduk.
4) Bila ia dapat mengerjakan shalat dengan berdiri namun dalam batas/tempo tertentu, maka dalam kondisi seperti ini, ia hanya boleh duduk ketika sudah tidak mampu lagi berdiri. Misalnya, ia sanggup berdiri hanya sebatas pembacaan surah al-Fatihah saja, maka ia wajib berdiri sepanjang pembacaan surat tersebut.
Selanjutnya ia boleh duduk untuk membaca surat lainnya. Namun demikian ia harus berdiri lagi (jika mampu walaupun dengan bantuan orang lain atau alat bantu) untuk keperluan pelaksanaan ruku’ dan yang seterusnya.
Penjelasan di atas mengutip sejumlah kitab antara lain:
1. بشرى الكريم بشرح مسائل التعليم صـ 200
2. التقريرات السديدة فى المسائل المفيدة صـ 213-214
3. تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحاشية الشرواني، جـ 2 صـ 24
4. حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري، جـ 2 صـ 200
5. حاشيتا قليوبي 1 ص 145
6. تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 5 / ص 321)
Disarikan dari hasil Bahtsul Masail Waqi’iyah Musyawarah Kerja Wilayah I Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada 3 Rabiuts Tsani 1441 H/30 November 2019 M di Probolinggo