Ahad 24 Nov 2019 16:00 WIB

Menelusuri Keunikan Masjid Agung Djenne

Masjid Agung Djenne terkesan polos dan minim ornamen,

 Masjid Agung Djenne di Mali, Afrika Barat.
Foto: sacredsites.com
Masjid Agung Djenne di Mali, Afrika Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saat mendengar kata "masjid", yang terlintas di dalam kepala sebagian besar orang mungkin adalah sebuah bangunan yang identik dengan kubah, berhiaskan ragam mosaik, serta dilengkapi dengan menara yang tinggi menjulang. Namun, seluruh karakteristik tersebut tidak akan kita jumpai pada Masjid Agung Djenne di Mali.

Rumah ibadah yang satu ini terkesan polos dan minim ornamen. Bentuk bangunannya pun sepenuhnya mengusung gaya arsitektur lokal Sudano-Sahelian. Beberapa potong kayu perancahnya bahkan tampak menyembul ke luar bangunan ini. Namun, karya ini justru menunjukkan bahwa sang arsitek paham betul bagaimana merancang sebuah masjid dengan identitas lokal yang sederhana, tapi tidak mengurangi aura sakral dan monumental dari sebuah masjid agung.

Tidak sekadar memiliki gaya arsitektur yang unik, material yang digunakan untuk pembangunan masjid yang terletak di kawasan Sub-Sahara Afrika ini pun tidaklah lazim. Jika masjid-masjid pada umumnya menggunakan batu atau semen sebagai bahan dasar konstruksi nya, masjid ini justru dibangun dengan tanah liat yang diambil dari dua sungai yang melintasi Kota Djenne.

Karena keunikannya itu, Masjid Agung Djenne dikenal sebagai landmark terpenting di kota itu. Bahkan, karena ketidaklazimannya tersebut, masjid ini juga masuk ke dalam daftar 10 masjid ter unik di dunia. Penulis asal Inggris, Kafia Cantone, menuturkan, adanya per bedaan tahap dalam penyebaran Islam ikut memengaruhi arsitektur masjid di beberapa kawasan dunia. Dari Afrika Utara hingga India, masuknya agama ini tidak terlepas dari kegiatan ekspansi dan penaklukan yang dilakukan bangsa Arab.

Karena itu, gaya arsitektur bangunan masjid yang digunakan di wilayah-wila yah itu pun praktis langsung diimpor dari negeri asalnya, yakni Timur Tengah. Fak ta tersebut salah satunya ditandai de ngan elemen kubah dan menara sebagai fitur yang melekat pada bangunan-bangunan masjid di daerah-daerah itu.

Namun, untuk kasus Sub-Sahara Afrika, Cina, dan Asia Tenggara, masuknya Islam lebih banyak melalui tahapan yang disebarkan oleh kaum pedagang. Seba gai hasilnya, gaya arsitektur masjid di masing-masing kawasan tersebut pun sedikit banyak juga mengalami proses akulturasi dengan tradisi lokal. Gaya bangunan dan material masjidmasjid tradisional di Afrika cukup variatif karena mengalami penyesuaian dengan kelompok etnis dan lingkungan setempat.

Gaya arsitektur yang disebut Souda nese (berasal dari Sudan Barat—Red) menjadi salah satu yang paling terkenal. Cakupan wilayah yang mendapat sentuhan gaya bangunan seperti ini pun terbilang luas. Mulai dari Senegal hingga ke Niger, Ghana, dan Pantai Gading. Mas jid Agung Djenne di Mali termasuk pula di dalamnya.

"Catatan ini setidaknya dapat menjelaskan mengapa arsitektur Masjid Agung Djenne di Mali secara eksplisit tidak sesuai dengan norma-norma yang telah menjadi blue print masjid pada umumnya," kata Cantone seperti dikutip laman Muslim Heritage.

Guru besar sejarah arsitektur dari Universitas California Berkeley, AS, Ne zar al-Sayyad, mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mendorong bangsa Arab melakukan ekspansi ke wilayahwilayah lainnya. Antara lain untuk menjalankan misi Ilahiah dalam menyebar kan syiar Islam, memelihara kekuasaan politik di bawah kontrol kelompok elite Arab, serta mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam di tanah yang telah ditaklukkan.

Kendati demikian, ekspansi oleh bang sa Arab tidak selalu menghadapi konfrontasi di wilayah-wilayah yang me reka taklukkan. Seperti di Damaskus dan Sisilia, dominasi bangsa Arab di sana justru membawa dampak yang jauh lebih positif dibandingkan eksploitasi yang kerap dilakukan oleh rezim Bizantium (Ro mawi Timur) pada masa-masa sebe lumnya.

Sebaliknya, penetrasi Islam di wila yah Sub-Sahara Afrika yang terjadi seki tar abad ke-9, justru bukan melalui misi penaklukan. Melainkan karena adanya hubungan perdagangan. Pada zaman itu, wilayah tersebut memang termasuk salah satu kawasan yang lazim dilintasi oleh para kafilah dagang. Al-Sayyad men jelaskan, ada dua rute perdagangan yang ikut membentuk pengaruh Islam di Afrika Barat. Yang pertama adalah jalur yang menghubungkan negeri-ne geri Maghribi (Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya) dengan pusat-pusat perdagangan emas Berber-Afrika seperti negeri Soninke (Ghana sekarang).

Jalur perdagangan lainnya adalah rute timur yang menghubungkan Sudan Tengah, Kanem, Bornu, serta negaranegara Hausa dengan Libya, Tunisia, dan Mesir. Meskipun terdiri dari berbagai daerah dan etnis, tapi salah satu faktor pemersatu Islam di Afrika adalah dominasi mazhab Maliki—yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat Maghribi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement