REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Agung Djenne menyerap gaya bangunan lokal untuk beradaptasi dengan iklim gurun yang panas. Selain itu pula, masjid yang banyak dikunjungi wisatawan ini mengekspresikan hubungan yang elegan dengan lingkungan lokal melalui arsitektur yang membumi dan dapat bertahan hingga berabad abad.
Masjid ini berdiri di atas permukaan tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang ada di sekitarnya. Ini dilakukan untuk melindungi kikisan air ketika banjir.
Keseluruhan bahan bangunan menggunakan bahan lumpur yang dikeringkan dibawah sinar matahari. Balok-balok lumpur kemudian disusun dan direkatkan satu sama lain menggunakan lumpur basah dan diplester permukaannya juga menggunakan lumpur basah.
Baca: Rahasia Keistimewaan Arsitektur Masjid Djenne
Masing-masing dinding memiliki keterbalan antara 40 sampai 60 sentimeter. Makin ke atas makin menipis. Dinding setebal itu berfungsi untuk menahan berat dari struktur masjid juga memberikan insulasi terhadap sinar matahari gurun yang menyengat.
Pada siang hari tembok tersebut akan memanas secara perlahan dari luar, namun tetap memberikan kesejukan di dalam masjid. Sementara, ketika waktu malam hari, udara panas yang tersimpan di tembok tersebut memberikan kehangatan di dalam masjid dari terpaan udara ekstrem gurun pasir.
Masjid Agung Djenne dilengkapi dengan ventilasi udara yang terdapat di bagian atap. Lubang-lubang angin itu ditutup dengan keramik hasil karya para kaum perempuan Djenne. Ventilasi yang dirancang fleksibel itu dibuka ketika malam hari untuk menyirkulasi udara di dalam masjid.