Jumat 22 Nov 2019 14:14 WIB

Kuala Lumpur Summit 2019 Bahas Isu Dunia Islam

Isu dunia Islam yang dibahas seperti Islamofobia, Palestina, dan terorisme,

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Kuala Lumpur
Foto: Musiron
Kuala Lumpur

REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR -- Kuala Lumpur Summit 2019 akan digelar pada Desember 2019 mendatang. Pertemuan tingkat tinggi ini akan melibatkan lima negara, termasuk Malaysia, Qatar, Turki, Pakistan dan Indonesia. 

Menurut Perdana Menteri Malaysia Tun Dr Mahathir Mohammad, pertemuan itu diselenggarakan dalam rangka membahas solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi umat Muslim di dunia, termasuk soal meningkatnya Islamofobia. 

Pada pertemuan tahun ini, petinggi dari negara-negara itu akan hadir, di antaranya Emir Qatar Sheikh Tamim Hamad Al-Thani, presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Selain itu, Menteri Urusan Ekonomi Malaysia Azmin Ali dan Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi juga akan ambil bagian dalam KL Summit 2019. 

KL Summit akan digelar dari 18 hingga 21 Desembar 2019 di Kuala Lumpur Convention Centre. Dengan mengusung tema "Peran Pembangunan dalam Mencapai Kedaulatan Nasional", pertemuan itu akan dihadiri oleh 450 pemimpin Muslim, para pakar, intelektual dan cendekiawan. Mereka akan mendiskusikan dan memberikan saran terkait isu yang dihadapi dunia Muslim.

Pertemuan itu juga akan bertujuan untuk memberi kontribusi terhadap kemajuan negara dalam urusan di antara Muslim dan bangsa Muslim, serta sebagai jaringan di antara para pemimpin Islam, intelektual, cendekiawan dan para pakar di seluruh dunia.

Sejumlah topik lain yang akan dibahas dalam pertemua itu di antaranya, peran politik dalam pembangunan, keamanan pangan, melestarikan identitas nasional, dan mendistribusikan kembali kekayaan nasional. 

Pada acara soft launching KL Summit 2019 di Putrajaya, Kamis (21/11), Mahathir mengatakan bahwa pertemuan puncak itu akan menjadi pertemuan dari pemikiran yang memiliki persepsi yang sama tentang Islam dan masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Salah satunya, terkait pengusiran Muslim dari tanah air mereka dan penyebutan Islam sebagai agama terorisme. 

Ia mengatakan, Muslim di masa lalu berkontribusi banyak terhadap peradaban Islam. Namun, sekarang umat Islam sendiri berada di dalam negara yang mengkhawatirkan. Misalnya, saat Islam digambarkan sebagai agama teroris dan meningkatnya Islamofobia. 

Penyebab masalah seperti ini menurutnya harus dicari tahu melalui pertemuan para cendekiawan nanti. Pasalnya, mereka akan memberikan pengamatan dan sudut pandangnya. 

"Mungkin kita bisa mengambil langkah pertama itu untuk membantu umat Islam memulihkan kejayaan masa lalu mereka, atau setidaknya untuk membantu mereka menghindari jenis penghinaan dan penindasan yang kita lihat di seluruh dunia saat ini," kata Mahathir, dilansir di South China Morning Post, Jumat (22/11). 

Kantor berita Malaysia, Bernama, menyebutkan bahwa rencana KL Summit diputuskan di sela-sela Sidang Umum PBB di New York tahun lalu. Saat itu, Mahathir bertemu dengan Khan dan Erdogan. 

Dalam beberapa pekan terakhir, Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah dan wakilnya Marzuki Yahya telah mengunjungi negara-negara Muslim seperti Iran dan Oman untuk secara pribadi mengundang para pemimpin negara itu pada KL Summit nanti. 

Mahathir lantas ditanya mengapa Malaysia menjadi tuan rumah sebuah forum baru, padahal ada platform yang telah didirikan seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Gerakan Non-Blok dan Asean. Mahathir menjawab bahwa ia percaya pada 'permulaan kecil'. 

"Banyak negara Muslim menghadapi masalah dan harus mengatasi masalah mereka tetapi Malaysia, Turki dan Pakistan, ditambah Qatar dan Indonesia, saya pikir, dapat memiliki waktu luang untuk menghadiri kegiatan yang sangat penting ini," ujarnya.

Belakangan ini, Mahathir memang cukup vokal terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dunia Muslim. Termasuk penderitaan Muslim Rohingya, perlakuan India terhadap Muslim di wilayah Jammu dan Kashmir, dan konflik Palestina-Israel. 

Sejak kembali berkuasa setelah memenangkan pemilu tahun lalu, Mahathir juga meningkatkan kritiknya terhadap Israel karena pendudukannya atas tanah Palestina. Mahathir yang menjadi perdana menteri ke-4 dan ke-7 ini adalah arsitek kebijakan garis keras Malaysia yang menolak mengakui Israel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement