Kamis 21 Nov 2019 13:36 WIB

Terkenang HAMKA dan Pramoedya: Ketika Abdul Somad di KPK

Terkenang HAMKA dan Pramoedya: Ketika Abdul Somad di KPK

Ustaz Abdul Somad usai memberikan kajian tausiyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (19/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ustaz Abdul Somad usai memberikan kajian tausiyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (19/11).

Oleh Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dulu pada zaman Demokrasi Terpimpin atau zaman Orde Lama ada pertarungan posisi dua tokoh yang klasik. Sosok itu adalah novelis penulis kondang Pramodeya Ananta Toer dan penulis kondang lain, yakni Buya Hamka. Dua sosok ini berseteru hebat. Pram misalnya mengkritik karya Hamka seperti novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Di lembar kebudayaan ‘Lentera’ milik koran Bintang Timur yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia, Pram (Pramoedya) mempreteli Hamka habis-habisan.

Namun, beda dengan Pram, Hamka cenderung diam saja. Dia sadar betul bahwa dirinya adalah seteru PKI karena menjadi anggota Partai Masyumi yang kala itu akrab dituduh DN Aidit sebagai ‘Sarekat Hejo (hijau)’. Maksudnya tengah memperjuangkan negara Islam seperti Darul Islamnya Kartosuwiryo.

Saat itu, yakni di sekitar 1962, hampir tak ada orang yang membelanya. Yang berdiri di belakang HAMKA hanya Hans Buge (HB) Jassin yang kemudian dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia. Jassin menolak mentah tuduhan itu. Dia pun dipecat sebagai dosen di Universitas Indonesia.

Jassin menolak tudingan yang bergelora saat itu bila Hamka dengan novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjiplak Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr. Lembaran kebudayaan Lentera di koran Bintang Timur mendakwa bila Hamka menyadurnya dari penyair Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, Majdulin atau Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia).

Lucunya, sebenarnya tuduhan plagiat itu lebih besar karena cemburu pada persoalan politik dan tafsir ideologi negara. Iklim politik saat itu memang tengah tak suka kepada hal yang berbau keagamaan. Ini sesuai dengan kecenderungan tulisan Pram yang terkesan selalu sinis pada segala hal yang berbau Islam, misalnya, soal haji hingga penyebaran Islam yang katanya sangat berbau kekerasan. Lihat saja misalnya dalam novel Pram, seperti Gadis Pantai, Midah Bergigi Emas, hingga Arus Balik. Haji selalu ditokohkan sosok negatif.

Pada sisi lain, kebetulan roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bertolak belakang pada kecenderungan Pram dan kelompoknya serta suasana politik rezim saat itu. Maka tepatlah bila Bintang Timur menyerang karya dan sosok Hamka. Apalagi, novel ini sangat laris semenjak novel ini diterbitkan pertama kali pada 1938 berupa cerita bersambung di majalah Pedoman Masjarakat pimpinan Hamka, yang kemudian diterbitkan sebagai buku oleh penerbit M Sjarkawi, Medan.

‘’Semenjak terbit, mulai cetakan pertama novel ini selalu habis,’’ kata Hamka ketika menceritakan kepopleran novelnya itu.

Ketidaksukaan kepada Hamka kemudian makin menjadi-jadi. Apalagi, lama-kelamaan dia kemudian menjelma menjadi semacam ulama berpengaruh ketika semakin giat mengisi pengajian di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru. Sosok Hamka waktu itu kontan berubah dan dianggap oleh sekelompok politik yang sepaham dengan Pramoedya sebagai ancaman. Ceramahnya diawasi. Ke mana-mana diikuti intelejen karena dianggap akan membuat perlawanan dengan membuat Indonesia sebagai negara Islam atau istilah kerennya: bergerilya kembali ke Piagam Jakarta.

Nasib Hamka kala itu benar-benar terpuruk. Dan puncaknya ketika dia menghadiri resepsi sunatan di salah satu kolega yang tengah mengadakan acara sunatan di sebuah kawasan di Banten. Karena acara itu dihadiri Hamka dan pra-tokoh Masyumi, pihak keamanan menangkapnya dengan mendakwanya melakukan rapat untuk menyusun perlawanan kepada negara yang syah (makar).

Maka, Hamka kemudian diterungku dalam penjara tanpa pengadilan. Dia baru bebas setelah terjadi pergantian suasana politik, yakni berupa pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto. Cara bebasnya Hamka dari penjara pun unik, yakni tanpa pengadilan. Waktu itu, jaksa yang kemudian menjadi ikon tokoh hukum Indonesia, Adnan Buyung Nasution, menceritakan Hamka pulang begitu saja.

’’Beliau saya jemput bebas dari penjara. Pintu penjara saya buka begitu saja. Hamka pulang dengan tanpa putusan pengadilan,’’ kata Buyung Nasution suatu ketika. Seperti diketahui selama mendekam dalam penjara Hamka kemudian menyelesaikan karya tafsir Alqurannya yang legendaris: Tafsir Al Azhar. Hamka bahkan di kemudian hari bersyukur bisa masuk penjara karena selama waktu itu dia punya banyak waktu untuk menyelesaikan tafsirnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement