Kamis 21 Nov 2019 04:31 WIB

Kisah Soegija, Van Lith, dan Misi Kristen

Kisah Soegija, Van Lith dan Misi Kristen

Soegija tengah berpidato di hadapan rakyat Indonesia  (Foto:Sesawi.net)
Foto: google.com
Tempat pembaptisan pertama 'Sendang Sono' tempo dulu, di Jogjakarta.

Digambarkan, bahwa saat itu, di Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama. Pola kristenisasi melalui pendidikan, sebagaimana dilakukan van Lith, ternyata cukup efektif. Diceritakan dalam surat Pater I. Vogels kepada para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910: “Jumat lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Moslem dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Moslem.” (Ibid, hal. 162).

Pater van Lith memang sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat, masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.” (Ibid, hal. 206).

Dalam menjalankan misinya, van Lith juga sangat fanatik terhadap budaya dan bahasa Jawa sembari mengritik keras pengembangan bahasa Melayu di Jawa. Padahal, saat itu, bahasa Melayu semakin menjadi sarana penting untuk menumbuhkan identitas nasional di antara gerakan-gerakan nasional. Akan tetapi, menurut van Lith, bahasa Melayu tidak akan berkembang, dan perannya akan digantikan dengan bahasa Belanda. Dalam sebuah kongres bahasa Jawa, van Lith memperingatkan agar orang Jawa berbangga dengan bahasa Jawa dan menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah. Ia berpegang pada pepatah: “sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas dua.” (Ibid, hal. 173).

Saat Kristen atau Katolik menjalankan misinya di Tanah Jawa, sebenarnya penduduk Jawa sudah muslim. Setidaknya, budaya Islam sudah berakar di Tanah Jawa. Bahkan, pemerintah penjajah Belanda pun menganggap “semua Jawa adalah muslim”. Karena itu, Belanda hanya memberikan wewenang kepada penghulu untuk mencatat perkawinan di Jawa. Ketika itu, pemuda Jawa yang berpindah agama menjadi Kristen/Katolik sampai mengalami kesulitan dalam mengurus pencatatan perkawinan. Dalam suratnya kepada Mgr. E. Luypen, tahun 1902, van Lith menyebutkan, bahwa pemuda Katolik yang menikah akhirnya meninggalkan Gereja Katolik karena setelah perkawinan mereka, “mereka menjadi bagian dari kawanan muslim.” Untuk itu, van Lith meminta ijin pemerintah Belanda, agar ia dibolehkan melakukan pencatatan perkawinan. (Ibid, hal. 234-235).

Contoh lain kuatnya pengaruh Islam dalam budaya Jawa adalah masalah khitan. Kaum Katolik pada umumnya, berpegang kepada surat Paulus kepada penduduk Galatia (Gal 5, 2): “Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” Dengan berbagai pertimbangan, van Lith tidak menentang praktik sunat di kalangan Katolik di Jawa, karena sunat itu tidak lagi memiliki makna keagamaan. Akan tetapi, van Lith menentang tambahan doa Arab dalam sunatan atau sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.

Sejak tahun 1876, seluruh misi Katolik dipercayakan kepada Jesuit Belanda meskipun Vikarisnya masih tetap seorang diosesan. Tahun 1893, diangkatlah seorang Jesuit, Mgr. W. Staal, sebagai Vikaris Batavia. Saat itu ada sekitar 30 Jesuit yang bekerja di wilayah Indonesia. “Mgr. Soegijapranata merupakan salah satu dari Jesuit-jesuit pertama yang lulus dari Kolese Xaverius Mantilan.” (hal. 91)

Mgr. I. Suharyo, dalam tulisannya bertajuk “Refleksi Perjalanan dan Arah ke Depan Keuskupan Agung Semarang” menyebutkan bahwa Soegija sangat mencitakan terwujudnya Gereja yang mengakar dalam budaya setempat. Tahun 1956, Soegija mengizinkan penerimaan sakramen baptis dengan menggunakan bahasa Jawa atau Indonesia. “Kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, slawatan digunakan sebagai media untuk pewartaan. Gamelan dianjurkan digunakan dalam liturgi. Segala usaha ini didukung dengan memajukan bidang pendidikan yang tetap sebagai bidang pelayanan yang akan berdampak jauh ke masa depan.”

Lalu, disimpulkan: “Yang dicita-citakan adalah Gereja yang dengan bahasa Injil, benar-benar menjadi garam di dalam masyarakat. Dan tidak boleh dilupakan, Gereja di wilayah Keuskupan Agung Semarang ini berkembang secara menakjubkan berkat darah para martir yang telah menyuburkan benih-benih iman, harapan, dan kasih Kristiani yang telah disebarkan oleh begitu banyak orang.” (Lihat buku Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, ed. Dr. F.Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Kanisius, 2001, hal. 292).2

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement