Ahad 17 Nov 2019 09:03 WIB
Sukmawati dan Perlawanan Jawa

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania!

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania !

Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.
Foto:
Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.

Sedangkan di Batavia perlawanan kepada penguasa kolonial berupa kerusuhan banyak ditujukan pada tuan tanah partikelir dan orang-orang Cina. Di Probolinggo dan Pasuruan aksi kekerasan itu memang seringkali dilakukan dengan cara melakukan pembakaran kebun tebu dan bedeng tempat penyimpanan tembakau.

Namun, selain ada yang dilakukan dengan maksud murni merampok, pada kenyataan lain aksi perbanditan itu juga kadangkala diekpresikan munculnya sebuah ‘kepemimpinan mistik’ (aksi mesianis). Hal ini ditandai dengan munculnya seseorang yang mengklaim dirinya sebagai ‘ratu adil’ atau utusan Tuhan untuk membebaskan segala derita rakyat yang tertindas. Para bandit ini acapkali mengaku punya kekuatan supranatural yang dapat dibanggakan dalam menghadapi lawannya, yakni para penindas itu.

Suhartono menulis, salah satu sosok bandit yang mengaku sebagai ‘orang suci’ itu adalah Mas Zakaria, seorang bandit dari Banten. Karier bandit Zakaria ini berlangsung pada tahun 1811-1827. Zakaria mengaku sebagai keturunan orang suci dari bapaknya yang ternyata juga seorang bandit. Bahkan, dua dasa warsa setelah kematiannya, masih banyak orang di Banten yang percaya roh Zakaria berperan dalam mengobarkan

pemberontakan Cikande yang pecah pada tahun 1847.

Para pelaku pemberontakan Cikande ketika ditangkap, banyak yang mengaku bila tindakan nekadnya  mengobarkan aksi perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda itu adalah untuk meneruskan sepak terjang leluhurnya yang bernama Zakaria tersebut.

Di Batavia juga dikenal aksi perbanditan yang dilakukan oleh Entong Gendut, yang tinggal di kawasan Jatinegara. Dia melakukan aksi kekerasan kepada tuan tanah yang  bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Entong menolak melakukan kewajibannya dan melunasi hutang kepada tuan tanah. Akibatnya para tuan tanah naik pitam. Mereka kemudian meminta pemerintah kolonial bertindak dengan mengerahkan aparat keamanannya untuk menangkap ‘Bang Entong.’

Namun, Entong pun tahu bahwa dirinya akan segera ditangkap. Dia kemudian mengumpulkan massa untuk melawan usaha penangkapan tersebut. Maka kemudian terkumpulah sekitar 40 orang yang bersedia bergabung dengannya untuk melakukan perlawanan. Dan untuk lebih menyakinkan pengikutnya bahwa dia seorang ‘ratu adil’ maka ketika melakukan perlawanan Entong pun membawa berbagai simbol tertentu yang dinilai punya kekuatan mistik, seperti mengibarkan bendera bergambar bulan

sabit hingg melakukan pengajian bersama untuk membaca Alquran dan membacakan wirid.  

Sikap Entong sebagai seorang ‘ratu adil’ makin tampak ketika melihat cara dia melakukan perlawan terhadap pasukan polisi kolonial yang hendak meringkusnya. Saat bertempur dia bersama pengikutnya secara terus menerus memekikkan  teriakan ‘Sabilillah’ (perang suci di jalan Allah). Aksi yang  sama juga muncul di wilayah Surakarta dan Yogyakarta.

Sekitar tiga dasa warsa sebelum meletusnya perlawanan Entong Gendut, di dua kawasan tersebut saat itu juga merajalela aksi perbanditan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Masyarakat setempat menyebut pihak pelakunya sebagai gerombolan  ‘kecu’. Mereka mengincar aparat birokrat pemerintah tingkat desa, yang disebut ‘ bekel’.

photo
Keterangan foto: Cokro Aminoto dalam sebuah pertemuan Sarekat Islam. Guru Soekarno ini oleh Rakyat Jawa kala itu disebut Ratu Adil. Setiap berjalan menghadiri rapat akbar, rakyat duduk bersimpuh ketika Cokroaminoto lewat.  Pihak kolonial menyebutnya raja Jawa tanpa mahkota. Gaya pidato Bung Karno meniru gaya pidatonya.

Laporan Asisten Residen Sragen misalnya menyatakan, pada 15 September malam 1873 sekitar dua puluh orang tak dikenal menyerbu rumah ‘bekel’ di desa

Kretek, Sragen. Tak cukup membawa 11 ekor kerbau, beberapa pikul padi, dan membawa kekayaan seharga 108,84 gulden, mereka juga membunuh isteri tua dari bekel tersebut. Aksi mereka tergolong cerdik karena kemudian tak bisa ditangkap.

Dan berbagai aksi seperti ini kemudian terus berlangsung secara luas dalam waktu cukup lama. Malahan, sampai masa dasa warsa pertama abad ke-20, akitvitas ‘kecu’ itu masih menunjukan frekuensi yang tinggi.

Daerah Klaten malah bisa disebut sebagai wilayah yang punya banyak kejadian ‘pengkecuan’. Antara tahun 1885-1900 tercatat di Klaten terjadi 23 kali tindak peng-'kecuan', Sragen 16 kali, Surakarta, 15 kali, Boyolali 13 kali, dan Wonogori 8 kali.

‘’Pada tahun 1915 peng-'kecuan' di Surakarta jumlahnya relatif besar, 51 kali, di bandingkan tahun-tahun sebelum 1900 yang rata-rata kurang dari 10 kali setahun. Rupanya hal ini ada korelasi antara resistensi petani dan gerakan Sarekat Islam sehingga gerakan ini mampu menampung aspirasi petani. Yang terhitung sangat tinggi adalah pengekecualian yang terjadi tahun 1919 yang mencapai 85 kali setahun. Angka ini menurun drastis tinggak 24 kali setahun atau seperempatnya

pada tahun 1924,’’ tulis Suhartono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement