Ahad 17 Nov 2019 09:03 WIB
Sukmawati dan Perlawanan Jawa

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania!

Perlawanan Jawa, Sukmawati, Modi: Sejarah Bukan Megalomania !

Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.
Foto: KTLV
Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

''Setelah perang Jawa (Perang Diponegoro) usai pada tahun 1830 tak ada lagi perlawanan di Jawa!'' Pernyataan Sukmawati Soekarnoputri yang terkait soal jasa Bung Karno dan Nabi Muhammad SAW dalam kemerdekaan Indonesia kini bikin ribut dunia maya. Pertanyaan Sukma memang kontroversial. Kehebohannya sama dengan pernyataan dia dahulu ketika menyoal suara adzan tak semerdu tembang, perbandingan keanggunan konde dan kebaya dengan busana muslimah, dan lainnya.

Tapi dalam soal tersebut hanya soal Jawa yang tak lagi melakukan perlawanan usai perang Jawa itu yang akan dibahas. Benarkah pernyataan ini benar?

Mungkin Sukmawati benar sebab di masa lalu sebelum ada penelitian tentang 'Geger Banten' (Pemberontakan Petani Banten tahun 1888) yang ditulis oleh mendiang empu sejarah Kartono Kartodirdjo begitu adanya. Penulisan sejarah Indonesia sebelum ada disertasi yang ditulis Sartono di Leiden Belanda ini memang berbau 'megalomania kolonial': Sejarah hanya mencatat tokoh besar, peristiwa besar, kerajaan, para pangeran dan elit lainnya. Soal sejarah rakyat dan jasa kaum kecil masa kaum Marhaen terlupakan. Mereka hanya dianggap sebagai pelengkap penderita.

Hasil gambar untuk pemberontakan petani banten 1888 karya sartono kartodirdjo

Maka sosok sejarawan Sartono itulah yang mengubah persespi megalomania dalam sejarah Indonesia. Melalui penelitiannya pada peristiwa pemberontakan para haji, kiai, dan petani Banten itu dia menceritakan peran rakyat kecil dalam perjuangan kebangsaan. Sartono tak tertarik menulis sejarah orang besar dan para bangsawan layaknya cerita babad tanah Jawa yang penuh mitos.

Selain itu, berkat disertasi tersebut Sartono kemudian menuliskan bila sebenarnya pulau Jawa tak pernah sepi dari perlawanan kepada kolonial yang dilakukan rakyat biasa. Dan itu terjadi baik sebelum dan sesudah perang Jawa. Lagi pula ini memang tak dicatat, karena penulisan sejarah versi kolonial hanya mencatat 'orang besar'. Peran sosok jelata seperti 'Badu' dan 'Dadap' (sebutan klasik orang kecil), 'guru ngaji di surau, bahkan bandit yang mengaku Ratu adil dan berjuang melawan penjajah dengan semangat 'jihad' (perang suci) tak ditulis dalam sejarah.

Contohnya pun banyak sekali, misalnya perlawanan Kiai Iman Rafingi di Kalisasak Pekalongan, Entong gendut di Betawi, para haji di Banten, atau terlawan rakyat di Garut zaman Sarekat Islam, perlawanan Haji Misbach di Solo, dan berbagi perlawanan lain yang membuat mereka dibuang dan mati dalam pembuangan di Tanah Merah,  Digul Papua.

photo
Keterangan foto: H Misbcah dkk di buang ke Digul setelah PKI gagal melakukan pemberontakan.

Kenyataan itu, terlihat sangat jelas misalnya ketika menelisik buku ‘Bandit-Bandit’ Pedesaan di di Jawa (Studi Historis 1850-1942), karya  sejarawan Universitas Gadjah Mada, DR Suhartono. Dalam kajian mengenai dunia ‘perbanditan’ di Jawa pada kurun itu  (penelitian dilakukan di tiga daerah: Banten dan Batavia di Jawa Barat, di Yogyakarta dan Surakarta di Jawa Tengah, dan Keresidenan Pasuruan), maka  dengan sangat jelas situasi sosial seperti apa yang membuat munculnya aksi kekerasan tersebut.

Dalam kajiannya Suhartono menulis, memang perbanditan (kalau masa sekarang mungkin bisa disebut sebagai aksi premanisme, red) pada saat itu adalah bentuk dari kriminalitas yang berkembang di masyarakat agraris. Meski begitu, istilah perbanditan sebenarnya masih dapat dibedakan , yaitu semata-mata kriminal dan ‘venal’ (penal) yang bertujuan mendapatkan hasil harta rampokan untuk hidup, sedangkan yang lain adalah bentuk perbanditan sosial model Robin Hood, yakni melakukan perbanditan yang hasil kejahatannya itu nantinya dibagikan kepada anggota masyarakat miskin.

Lalu model perbanditan apa yang kemudian terjadi di Jawa pada kurun itu? Dalam kajian Suhartono secara sekilas dapat dikatakan, meski ada sifatnya yang ‘murni kriminal’ itu, namun sebenanrya perbanditan di Jawa pada kurun tersebut lebih banyak bersifat sebagai protes sosial atau perlawanan kepada pemerintah kolonial.

‘’Secara khusus perbanditan yang banyak terjadi di pedesaan Jawa adalah 'kecu', rampok, 'koyok', dan sejenisnya. Dan karena aksi ini secara sadar dilakukan sebagai usaha perbaikan kondisi ekonomi dari pihak pelakunya, maka aksi mereka  dapat juga dikatakan sebagai perbanditan sosial.

Menurut dia, pada dasarnya semua perbanditan muncul karena rakyat pedesaan kehilangan orientasi dan lepas dari kehidupan budayanya akibat kemiskinan, penindasan, dan penghisapan oleh pihak kolonial . Aksi ini bisa saja dilakukan oleh individual atau sekelompok orang untuk mendapatkan haknya kembali yang telah dirampas.

Uniknya, selain dilakukan dengan melakukan perampasan harta, aksi perbanditan yang merupakan ekpresi dari perlawanan rakyat itu juga kerapkali diwujudkan dengan tindakan perusakan terhadap berbagai perusahaan milik penguasa saat itu. Di beberapa tempat misalnya, aksi perbanditan ini dilakukan dengan melakukan pembakaran terhadap kebun tebu, los tembakau, pengrusakan saluran irigasi, dan pengrusakan gudang dan bangunan.  

Adanya fenomena seperti itu, bisa dirujuk pada sumber data yang didapat dari arsip 'Kolonial Verslag'. Pada arsip itu  dilaporkan bahwa tindakan ‘perbanditan’ terjadi hampir setiap hari dan dilakukan dalam frekuensi yang cukup besar. Di pihak lain, resistensi serupa berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial yang diekpresikan dengan tindakan perbanditan itupun kerapkali diwujudkan dengan aksi perampokan dan kerusuhan yang serius.

Di Vorstenlanden (wilayah kerajaan yang ada di Yogyakarta dan Surakarta) dikenal munculnya 'kecu' (orang jahat) yang banyak melakukan perampokan di wilayah itu. Aksi mereka ini menyasar pihak pabrik, perkebunan, orang Cina, pemimpin wilayah setempat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement