REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre/JIC) mengadakan Diskusi Peradaban Islam dengan tema “Sejarah dan Perkembangan Islam di Pattani, Thailand Selatan dan Kontribusinya di Betawi”. Diskusi tersebut digelar di Ruang Audio Visual 2 Jakarta Islamic Centre (JIC), Kamis (14/11).
Narasumber diskusi ini adalah Assoc Prof Dr Muhammadzakee Cheha, direktur Pascasarjana Universitas Fatoni, Thailand Selatan; Rakhmad Zailani Kiki SAg, MM, kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan JIC; dan Nur Rohmah, MA, MHum, peneliti Puslitbanglektur Kementerian Agama RI. Adapun moderator adalah Mohamad Aripin SPdI.
“Diskusi ini diadakan sebagai sarana untuk mempublikasikan hasil riset JIC yang pernah melakukan riset lapangan ke Pattani, Thailand Selatan, tanggal 26-29 November 2015 guna menemukan titik sambung sanad ulama Pattani dan Betawi dan melalui diskusi ini hasil riset tersebut diuji shahih dan diperbaharui kembali,” kata Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan JIC, Rakhmad Zailani dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/11).
Ia menambahkan, rencananya, pada tahun 2020 akan dilakukan riset lapangan lagi ke Pattani untuk menyempurnakan datanya dan hasilnya akan dibukukan.
”Titik sambung itu ditemukan di Syekh Abdul Shomad Al-Jawi Al-Falimbani yang merupakan guru bagi sebagian ulama di Pattani dan di Betawi, penyusun kitab Hidayatus Salikin dan Sayrus Salikin yang populer di Nusantara. Salah satu sumber rujukan yang saya pakai yang menunjukkan bahwa beliau adalah ulama yang berjasa menyebarkan Islam di Pattani adalah bersumber dari buku berbahasa Arab Melayu yang berjudul “Ulama Besar dari Pattani” karya Ahmad Fathy al-Fatani yang diterbitkan oleh Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan,” ujar Ustadz Kiki, panggilan akrabnya.
Kiki menjelaskan, Syekh Abdul Shomad Al-Jawi Al-Falimbani bukan sekedar datang di Pattani untuk mengajar ilmu keislaman. Ia juga turut berjuang, berperang, melawan tentara Siam dan akhirnya dia terbunuh. Kepalanya yang dipenggal dibawa tentara Siam ke Bangkok, sedangkan tubuhnya dimakamkan di Kampung Bangkrak, Distrik Chana (Melayu: Chenok), Songkhla, Thailand Selatan.
“Syekh Abdul Shomad Al-Falimbani dan murid-muridnya turut juga berjasa menyebarkan tarekat Sammaniyah di tanah Betawi. Bahkan beliau pernah datang ke Betawi bersama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdurrahman Al-Mashri untuk meluruskan arah kiblat Masjd Al-Mansur, Sawah Lio, Jembatan Lima, Jakarta Barat pada tahun 1767M,” ujarnya.
Pada paparannya, Assoc Prof Dr Muhammadzakee Cheha menjelaskan, perkembangan Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam menguasai kerajaan Melayu Pattani. “Pattani berasal dari kata Al Fatoni yang berarti kebijaksanaan atau cerdik karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal,” kata Muhammadzakee Cheha.
Ia menambahkan, kawasan Thailand bagian selatan yang pada masa dahulu pernah berbentuk satu daulat Islam merupakan basis masyarakat Melayu-Muslim yang ada masalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang bangsa dan agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara Melayu oleh pemerintah Kolonial Inggris kepada kerajaan Siam pada tahun 1901. Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang mencabut hak-hak dan martabat Muslim Patani.
Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggapi pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut. “Kini, kaum Muslimin Pattani dan umat Islam di Thailand Selatan terus berjuang agar dapat diberikan status khusus bagi wilayah Thailand Selatan oleh Pemerintah Thailand,” paparnya.
Sedangkan Nur Rohmah menjelaskan, orang Pattani telah memberikan kontribusi terhadap kehidupan dan perkembangan Islam di Betawi. Seperti sejarah Kampung Melayu yang terkait dengan Wan Abdul Bagus. Wan adalah gelar sebagai orang terkemuka Melayu.
Menurut buku Asal-usul Nama Tempat di Jakarta (2004), Wan Abdul Bagus putra Ence Bagus, lahir di Pattani, Thailand Selatan—yang berbatasan dengan Malaysia di Semenanjung Melayu. Dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia dijadikan pemimpin masyarakat Melayu di Betawi dengan pangkat kapitan. “Selain itu, gurunya para ulama Betawi, Guru Marzuqi Muara, leluhur dari garis ayahnya merupakan bangsawan Pattani yang bergelar Laksamana Mayang/Melayang,” tuurnya.
Nur Rohmah menambahkan, kitab-kitab Arab Melayu yang ditulis oleh ulama Pattani juga populer di masyarakat Betawi. Contohnya, kitab Sullamul Mubtadî fî Ma’rifah Tharîqatil-Muhtadî karya Syaikh Dâwûd ibn ‘Abdullâh al-Fathânî (dikenal dengan Syaikh Dawud Pattani, w. 1847 M) dan kitab Tanbihul Ghafilin versi aksara Arab Melayu yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Mubin al-Fathani al-Syafi’i.