REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil menjelaskan faktor yang membuatnya mencetuskan program English for Ulama. Saat ke luar negeri, dia selalu ditanyakan soal mengapa ulama dari Indonesia jarang mengikuti agenda dialog internasional. Ulama yang hadir selalu dari Timur Tengah.
"'Padahal bapak kan negara yang dikenal populasi Muslim-nya terbanyak di dunia'," tutur pria yang akrab disapa Kang Emil itu kepada Republika.co.id belum lama ini.
Emil mengatakan, pertanyaan yang tidak muncul satu-dua kali ini membuat dirinya merenung terkait apa permasalahan yang mendasari. Hingga kemudian, mantan wali kota Bandung itu berkesimpulan bahwa para ulama, khususnya dari Jabar, masih perlu diasah kemampuan bahasa Inggrisnya.
"Kesimpulan saya, ternyata ini kurangnya ulama-ulama Indonesia menguasai bahasa pergaulan dunia atau lingua franca yaitu bahasa Inggris. Nah, lahirlah gagasan English for Ulama bersama British Council dan Kedutaan Inggris," paparnya.
Saat program tersebut dibuka, ada lebih dari 200 ulama yang mendaftar. Ratusan ulama itu diseleksi hingga mengerucut menjadi 30 nama, lalu disaring lagi sampai mendapatkan lima terbaik. Lima ulama terbaik ini dikirim ke Inggris untuk berdialog, berdakwah, dan berdiskusi dengan kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Lima ulama terpilih itu adalah Ihya Ulumudin, Safitra, Hasan Al-Banna, Wifni Yusifa, dan Ridwan Subagya. Kelimanya dikirim ke lima kota di Inggris, yaitu London, Bristol, Glasgow, Manchester, dan Birmingham, sehingga ada satu ulama asal Jabar di masing-masing kota tersebut. Mereka berada di Inggris hingga 14 November mendatang.
"Alhamdulillah responnya luar biasa. Ini membawa rasa aman dan nyaman, dan terbukanya komunikasi tentang siapa kita, khususnya Islam di Indonesia, spesifiknya lagi diwakili oleh keislaman di Jawa Barat," ujarnya.
Menurut Emil, kesalahan persepsi Barat terhadap Islam dan Indonesia itu lebih karena komunikasi yang tidak berjalan lancar, atau dari informasi yang kurang lengkap. Hal lain yang dia nilai masih belum maksimal, yakni jarang hadirnya ulama-ulama Indonesia di forum internasional yang menimbulkan adanya dialog antara Barat dan Timur.