REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di masa umat Islam dipimpin Umar bin Khattab, ada seorang pria yang datang ingin bertemu sang khalifah. Pria itu mengenal Umar dengan baik sebagai seorang pemimpin. Pria itu datang keesokan harinya dengan maksud bertemu istrinya karena marah.
Setelah mengunjungi kediaman Umar beberapa kali, pria itu tidak pernah bertemu dengan Khalifah. Pria itu baru saja bertemu istrinya yang menyampaikan pesan, Umar belum pulang. Dia masih sibuk dengan urusan rakyatnya.
Kali ini, pria itu tidak putus asa. Dia merindukan Umar dan percaya bahwa Khalifah akan berada di tempatnya. Setelah beberapa meter ke rumah Umar, lelaki itu melihat sosok khalifah. Dia yakin bahwa dia adalah orangnya.
Di depan rumah, pria itu tidak segera mengetuk pintu ketika dia mendengar Umar dengan keras. Meskipun suara wanita itu dinaikkan beberapa kali, tidak ada satu kata pun sebagai balasan. Suara lain yang dipertanyakan adalah suara Umar yang menolak untuk berdebat dengan hal-hal sepele. Menurutnya masalah kecil tidak perlu diperbesar.
Setelah melihat dan mendengar keadaan pasif Umar ketika ia dimarahi oleh istrinya, pria yang ingin berbicara tentang istrinya yang sering marah juga ragu-ragu, jika keluhannya akan didengar. Karena jika seorang percaya begitu saja, bagaimana dengan saya? itu ada di dalam hati.
Pria itu meninggalkan rumah juga. Namun, berjalan beberapa langkah, dia tiba-tiba mendengar suara memanggilnya. Apa yang kamu butuhkan kata Umar.
Tanpa ragu, pria yang mendengarkan Umar memarahi istrinya segera berkata, "Wahai orang percaya, aku datang untuk mengakui perilaku buruk istriku dan sikapnya terhadapku." Tapi, aku mendengar hal yang sama tentang istrimu, katanya.
Hormati istri
Umar bin Khattab dan kemudian tersenyum. Dia juga memberi tahu lelaki itu mengapa Umar begitu keras terhadap istrinya. Saudaraku, aku sabar dengan tindakannya karena itu adalah tugasku.
Alih-alih memarahi istrinya, Umar bercerita tentang berapa banyak yang telah dilakukan istrinya dalam hidupnya. Bagaimana saya bisa marah kepada istri saya karena dialah yang mencuci pakaian saya, yang memasak roti dan makanan, dan dia merawat anak-anak saya, meskipun itu bukan tugasnya, katanya.
Umar bin Khattab kemudian menasehati lelaki itu untuk bersabar dengan istrinya karena istrinya yang membuatnya damai dengannya. Karena istri saya, saya merasa damai (tidak berdosa). Jadi, saya harus bisa mempertahankan sikapnya, katanya.
Oh, orang percaya yang terkasih, istri saya melakukan hal yang sama, kata pria itu. Amirul si mukmin menjawab, Jadi kamu harus bisa menahan diri karena kamu percaya hanya sesaat.
Pria itu akhirnya pergi dan melakukan apa yang diperintahkan Umar, untuk bersabar. Setelah dia melaksanakan perintah Umar untuk bersabar sementara mendapati istrinya marah, istrinya tidak lagi marah. Memang benar apa yang Umar katakan, istrinya marah sejenak, katanya dalam hati.