REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Negara kecil di Afrika Barat, Gambia, mengajukan gugatan kepada Myanmar terkait Rohingya. Gambia menuding Myanmar melakukan genosida terhadap Muslim Rohingya yang memaksa ratusan ribu orang melarikan diri dari negara Asia.
Gugatan Gambia ini didukung 57 anggota Organisasi untuk Kerja Sama Islam (OKI). Mereka mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional (ICJ), pengadilan terkemuka PBB dalam menangani perselisihan antarnegara.
Pengacara Gambia yang berbasis di Washington, Paul Reichler mengatakan, pihaknya berharap kasus terkait Rohingya ini mendapatkan keputusan dari Mahkamah Internasional. "Myanmar bersalah atas kejahatan genosida terhadap orang-orang Rohingya," kata Reichler, dilansir dari laman VOA News, Selasa (12/11).
Dia mengakui putusan terkait masalah ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun, ada tindakan sementara, yakni sebuah perintah yang menuntut Myanmar berhenti merugikan Rohingya, sementara pengadilan mempertimbangkan kasusnya. Para hakim di pengadilan yang bermarkas di Den Haag dapat memutuskan hal itu pada awal bulan depan.
"Kami berharap mendapat perlindungan semacam itu bagi orang-orang Rohingya sangat dalam kasus ini sebagai tindakan sementara sehingga kegiatan genosida tidak berlanjut selama gugatan," kata Reichler.
Pemerintah Myanmar membantah keras tuduhan genosida dan telah membentuk Komisi Penyelidikan sendiri. Duta besar Myanmar Hau Do Suan mengatakan kepada VOA News, bahwa hal ini jelas merupakan taktik tekanan internasional yang bermotivasi politik terhadap Myanmar mengenai masalah negara Rakhine.
"Gambia tidak ada hubungannya dengan masalah Myanmar. OKI dan Gambia harus berusaha menertibkan halaman belakang mereka terlebih dahulu, sebelum mencoba mencampuri urusan negara yang jauh yang mencoba demi sesuatu yang terbaik dengan cara yang berkelanjutan dan damai dalam menyelesaikannya," ungkapnya.
The Global Centre for the Responsibility to Protect, telah bekerja sama dengan Gambia selama setahun terakhir untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. "Ini benar-benar harapan besar agar ada pertanggungjawaban dalam kasus Myanmar, terutama karena Dewan Keamanan (AS) tidak melakukan apa-apa," kata Nadira Khudayberbieva, pakar Myanmar di pusat tersebut.