Rabu 13 Nov 2019 00:07 WIB

Di Jalur Sutra, Ibnu Batutah Temukan Hal Menarik

Di penginapannya, Batutah naik ke atap dengan letih.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Perjalanan Ibnu Batuta, Ilustrasi
Foto: ytimg.com
Perjalanan Ibnu Batuta, Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Musafir kenamaan Ibnu Batutah melintasi delta Sungai Nil pada tahun 1326. Saat itu malam begitu panas. Di penginapannya, Batutah naik ke atap dengan letih. Kemudian, dia dikejutkan oleh sesuatu yang tak biasa ada dalam per jalanannya. Ia menemukan kasur jerami, tikar kulit, tempat wudhu, kendi berisi air, dan gelas minum di atap tersebut. Untuk abad ke- 14, fasilitas seperti ini sudah sekelas bintang empat.

Tanpa tempat beristirahat yang aman dan nyaman seperti itu, perjalanan Ibnu Batutah selama 28 tahun melintasi Afrika dan Asia mungkin tak akan pernah terjadi. Berabadabad lamanya sebelum itu, perjalanan jarak jauh selalu menjadi masalah karena penuh risiko.

Namun, lambat-laun pergeseran terjadi. Ada perubahan pada sistem penginapan bagi para pengelana. Hal ini menjadi angin segar bagi orang-orang yang kerap melakukan perjalanan jauh melintasi negara, bahkan benua, seperti pedagang, peziarah, dan pengelana. Sebagai pengelana, Ibnu Batutah tentu termasuk yang merasakan angin segar itu.

Penginapan atau wisma yang menjadi tempat beristirahat bagi para pengelana, pe da gang maupun peziarah itu berada di sejum lah titik di tepi jalur-jalur perdagangan, salah satunya Jalur Sutra. Penginapan itu disebut karavanserai.

Saat ini, reruntuhan kompleks karavanserai masih bisa ditemui di kawasan padang pasir Afrika Utara hingga dataran tinggi Iran. Juga di kawasan Timur Jauh (Asia bagian timur) hingga dataran rendah Bangladesh.

Jenis penginapan lain yang tersedia bagi para pengelana adalah khan dan funduq. Ini adalah penginapan yang lebih kecil dan biasanya berada di kota. Hingga saat ini pun, be kas-bekas khan dan funduq masih bisa di temui di kawasan tua kota-kota di Timur Tengah dan Asia Tengah. Sayangnya, sebagian besar berada dalam kondisi bobrok dan digu nakan sebagai perumahan kelas bawah, tempat parkir atau gudang.

Meski sarat sejarah, jarang ada upaya dari pemerintah setempat untuk melindunginya dari kerusakan atau pembongkaran.

"Bangunan kuno itu tidak memiliki signifikansi keagamaan layaknya masjid, atau kepentingan politik, seperti istana, sehingga di rasa tidak perlu mendapatkan fasilitas pelest arian," kata Olivia Constable, akademisi dari Universitas Notre Dame, Amerika Serikat. Dia merupakan salah satu dari sedikit intelektual yang mempelajari sejarah ekonomi dan arsitektur karavanserai serta khan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement