Senin 11 Nov 2019 16:16 WIB

Macron Tolak Negara Balkan Masuk Uni Eropa

Populasi Muslim di Negara Balkan cukup besar,

Rep: Febryan A/ Red: Agung Sasongko
Muslim Bosnia
Foto: washingtonpost
Muslim Bosnia

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keputusan Presiden Prancis Emanuel Macron menggunakan hak veto untuk menolak pembicaraan bergabungnya Makedonia Utara dan Albania dengan Uni Eropa (UE) dinilai sebagai tindakan untuk menghalangi pengaruh politik Islam di UE. Sebab, kedua negara tersebut memiliki populasi muslim yang cukup besar.

Hal itu disampaikan oleh Hamza Karcic, seorang Professor di Fakultas Ilmu Politik Universitas Saravejo. Dalam esainya yang dimuat di laman dailysabah.com, Senin (11/11), Karcic menjelaskan dampak dari veto yang dilakukan Macron dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) UE di Brussels pada Oktober lalu itu.

Macron memakai hak vetonya untuk menolak upaya pembicaraan awal untuk bergabungnya Makedonia Utara dan Albania. Makedonia Utara, Albania dan empat negara Balkan lainnya yakni Bosnia, Kosovo, Montenegro dan Serbia berupaya bergabung UE setelah perang etnik 1990-an yang memicu disintegrasi Yugoslavia.

Karcic mengatakan, veto Macron adalah upaya untuk meninggalkan negara-negara dengan populasi muslim itu di luar EU. Jika pembicaraan dimulai maka akan butuh waktu sepuluh tahun hingga benar-benar bergabung dengan EU. Apalagi jika pembicaraan awal ditunda, maka dua negara itu akan semakin lama untuk bisa bergabung.

Begitupun Bosnia dan Kosovo yang masih harus menghadapi pembicaraan panjang untuk bergabung. Veto dari Macron juga berdampak pada upaya dua negara ini. Dengan demikian, erarti negara-negara Balkan akan tetap berada di luar EU dalam jangka waktu yang panjang.

"Secara lebih gamblang, veto menghentikan keanggotaan negara-negara UE di mana umat Islam memiliki kekuatan politik yang signifikan," kata Karcic.

Hal yang sama, lanjut Karcic, juga dirasakan Turki yang kesulitan bergabung dengan EU. Hal berbeda terjadi pada negara-negara di Eropa Tengah dan Timur.

Setelah memakai hak vetonya, Macron melakukan wawancara dengan The Economist pada 9 November. Wawancara itu ternyata menimbulkan reaksi kemarahan dari warga Bosnia.

Sebab, dalam wawancara itu, Macron mengklaim bahwa Bonsia adalah "bom waktu yang terus berdetak ... yang menghadapi masalah mengembalikan jihadis ..." 

Juru bicara Komunitas Islam Bosnia Muhamed Jusić pun membalas. "Sekitar 300 warga Bosnia, kebanyakan dari mereka wanita dan anak-anak, pergi ke medan perang di Suriah dan Irak dibandingkan dengan lebih dari 1.900 orang Prancis." kata Jusic sebagaima dikutip Karcic.

Karcic menambahkan, tindakan Macron sama saja dengan menyia-nyiakan pengaruh UE di Balkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement