REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rasulullah SAW merupakan pribadi yang memiliki akhlaqul karimah yang luar biasa. Hal tersebut merupakan sesuatu yang harus diteladani umat Muslim di zaman modern seperti saat ini.
"Terutama akhlak sebagai pemimpin. Akhlak ini bersifat universal dan tetap relevan hingga sekarang," ujar Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Didin Hafidudin, ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (8/11).
Dia menambahkan, Rasulullah juga mempunyai sifat shiddiq (benar dan jujur), amanah (terpercaya) fathanah (cerdas) dan tabligh (menyampaikan).
Oleh sebab itu, menurut dia, bukan hanya generasi muda saja yang harus meneladani sifatnya, melainkan juga para pemimpin saat ini.
Dia menegaskan, untuk mendukung hal tersebut, masyarakat harus dikuatkan, selain dari lembaga pendidikan yang harus diarahkan untuk pembentukan akhlak.
Dengan pendidikan dan akhlak yang semakin kuat, hukum juga harus ditegaskan oleh pihak terkait. "Jika itu dilakukan, keteladanan Rasulullah akan lebih optimal untuk direalisasikan," kata guru besar agama Islam IPB itu.
Sabtu (9/11) atau 12 Rabiul Awal pada penanggalan Hijriyah, bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selama 15 abad, momentum 12 Rabiul Awal telah diperingati sebagian besar kalangan Sunni di seluruh dunia.
Tidak terkecuali di Indonesia sendiri. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal, mengatakan dalam konteks tersebut umat Islam harus meneladani sifat-sifat Rasulullah. Khususnya dalam beberapa hal penting, utamanya di zaman modern ini.
"Antara lain dalam memandang perbedaan. Nabi Muhammad selalu memberi ruang kepada siapapun untuk berbeda pandangan," kata dia Jumat.
Beberapa pandangan memang harus dijadikan Khazanah untuk memperkaya perspektif. Sebab, Nabi Muhammad juga tidak pernah memaksakan pandangan kepada siapapun. "Termasuk dalam berdakwah," Ujar dia.
Kepada Republika.co.id, dia mengatakan, keteladanan lain yang bisa diambil adalah sikap untuk beragama secara inklusif dan terbuka.
Lebih lanjut, sambung dia, Nabi Muhammad bahkan mengajarkan bagaimana mendakwahkan Islam dengan cara-cara yang makruf, santun, dan tanpa kekerasan serta caci maki.
"Maraknya caci maki di media sosial sebagai bagian kecil dari perkembangan dunia digital, adalah bukti bahwa masih ada problem serius yang harus kita hadapi," tuturnya.
Dia menegaskan, kata kunci lain adalah soal keteladanan yang harus dilakukan di era digital ini. Dia menambahkan, dunia digital saat ini seakan memaksa manusia bermigrasi dan mengubah pola pikir belajar manusia. "Bagaimanapun juga di era digital seperti sekarang ini, harus kita akui, kita mengalami kemarau keteladanan," ungkap dia.
Helmy menuturkan, sifat manusia yang dulunya belajar kepada guru, sekarang hanya mengandalkan apa yang disebut internet. Padahal menurut dia, kondisi tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak. "Terutama untuk menjawab bagaimana mewariskan nilai-nilai baik yang harus kita teladankan pada generasi setelah kita," terangnya.
Lebih lanjut, hal tersebut juga diaminkan Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih, Tajdid dan Tabligh, Yunahar Ilyas. Menurut dia, di era digital seperti saat ini, hal yang harus diteladani dari Rasulullah, adalah harus mampu bertanggung jawab dalam penyebaran konten apapun.
"Harus selalu ada tabayun. Sebelum konten itu di sharing harus disaring dulu. Karena dari kata-kata batil, atau sesuatu yang maksiat disebarkan di era digital ini, tidak bisa dihentikan," ujar pria yang juga menjabat sebagai Waketum MUI itu.
Menurut dia, hal tersebut harus dilakukan, karena hak tersebut akan terus berputar. Jika isi dari konten tersebut negatif, dosa yang dibawa juga akan mengalir pada orang yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, guru besar agama Islam UMY itu, menekankan untuk mengirim hak positif di internet. Baik itu sekedar informasi, pelajaran ataupun hal bermanfaat lainnya. "Intinya harus selalu belajar dan mempelajari sirah rasulullah SAW," ungkap pria kelahiran bukit tinggi tersebut.