REPUBLIKA.CO.ID, Ronggo Astungkoro, Mimi Kartika, Dessy Suciati Saputri, Antara
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin sepertinya sangat serius memerangi radikalisme. Sekolah menjadi salah satu medan perang utama dengan guru dijadikan agen penangkal radikalisme.
"Saya berharap kepada semua guru madrasah dan guru agama Islam yang berada dalam naungan Kemenag, jangan ada radikalisme di antara kita," kata Zainut di Jakarta, Senin (4/11), menyambut peringatan Hari Guru Nasional 2019 yang jatuh pada 25 November.
Dia mengatakan, meski guru merupakan agen penangkal radikalisme di sekolah-sekolah, pada saat yang sama guru juga rentan menjadi agen penyebaran radikalisme. Untuk itu, dia meminta semua guru, khususnya yang berada di naungan Kementerian Agama (Kemenag), agar waspada terhadap paparan paham intoleransi yang berujung radikalisme.
Wamenag mengatakan, ide-ide moderasi beragama akan dengan mudah disebarkan kepada seluruh anak didik di Indonesia apabila para guru benar-benar dapat menyerap gagasan Islam yang "rahmatan lil'alamin'. Dengan demikian, kata dia, dalam setiap mata pelajaran yang diberikan kepada siswa agar berisi intisari Islam damai.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kemenag, Suyitno, mengatakan,
Kemenag, menaungi 708.167 guru di seluruh Indonesia. Sebanyak 126.293 di antaranya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 581.474 lainnya bukan pegawai negeri.
"Berbagai penghargaan diberikan untuk menjaga motivasi guru dan memberikan iklim yang kompetitif," katanya.
Pengamat isu intelijen dan terorisme, Harits Abu Ulya mempertanyakan terminologi radikalisme dengan definisi secara jelas dan terukur yang dimaksud pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Kemudian, pemerintah diminta menyampaikan hal itu kepada masyarakat.
"Jadi kita perlu tanyakan kepada rezim Jokowi. Apa radikalisme itu? Apa tolak ukurnya? Siapa yang punya otoritas merumuskan definisi terminologi itu? Dan siapa pihak yang di anggap radikal? Sejauhmana bahayanya saat ini?," ujar Harits kepada Republika, Rabu (30/10).
Kemudian, pemerintah juga diminta jujur akan ancaman aktual yang dihadapi Indonesia saat ini. Padahal Indonesia mempunyai Badan Intelijen Negara (BIN), Intelijen dan Keamanan (Intelkam), Badan Intelijen Strategis (Bais), serta unsur intelijen lainnya.
Menurut Harits, satuan intelijen itu pasti memiliki analisis mengenai ancaman dengan segala levelnya terhadap negara. Sehingga, jangan sampai rakyat ramai-ramai di provokasi pemerintah untuk menghadapi musuh imaginatif atau ancaman asumtif terhadap isu radikalisme.
"Rakyat hari ini sikapnya kritis, dan membaca di balik ngototnya pemerintah mengusung proyek deradikalisasi itu untuk menutupi susuatu yang jauh lebih besar dan urgen," kata dia.
Ia mengatakan, lebih bahaya lagi jika soal radikalisme itu tendensinya kepada Islam dan umatnya. Seharusnya pemerintah bersikap bijak terhadap perbedaan atau keragaman diruang demokrasi dengan mengedepankan nalar sehat.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian sekaligus Analis Terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan, definisi radikalisme tergantung pada penguasa negara itu sendiri. Akan tetapi, ia mengingatkan, jangan sampai tindakan-tindakan negara yang berlebihan justru akan menciptakan musuh-musuh baru.
"Definisi itu tergantung pada penguasa. Radikalisme itu memang ada dan negara harus serius menghadapinya," ujar Noor Huda kepada Republika melalui pesan singkat, Rabu (30/10).
Ia mengatakan, radikalisme itu relatif di setiap negara. Contohnya mengkritik negara biasa terjadi di Amerika, tetapi menjadi tindakan radikal di Korea Utara. Untuk itu, radikalisme secara definisi menjadi problematik.
Sehingga, pemerintah harus jelas dalam memilih siapa kelompok radikalisme yang perlu dilawan itu. Menurut Noor Huda, memahami radikalisme itu seperti "bull's eye" atau lingkaran target sasaran yang melingkar-lingkar.
"Yang paling utama ya kelompok yang ingin melakukan aksi terorisme seperti ISIS harı ini. Di Indonesia, kelompok ini berafiliasi Kepala JAD, Jamaah Anshorut Daulah," kata Noor Huda.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, pemerintah tidak pernah mengatakan umat Islam sebagai kelompok radikal. Mahfud meluruskan, kelompok radikal merupakan kelompok yang ingin mengganti Pancasila serta Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
"Supaya diingat bahwa pemerintah tidak pernah mengatakan umat Islam itu radikal. Pemerintah itu menganggap justru karena umat Islam tidak radikal itulah maka negara ini sampai sekarang terjaga dengan baik," ujar Mahfud di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (1/11).
Menurut dia, pada umumnya umat Islam setuju dan sangat menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila. Kelompok radikal itu, kata Mahfud, merupakan kelompok yang ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945. Mahfud mentatakan, jumlah kelompok radikal tidak banyak dan bukanlah umat Islam.
"Di Indonesia memang ada kelompok radikal, kelompok yang ingin mengganti Pancasila dan UUD itu karena itu dianggap tidak cocok dianggap thogut, dianggap apa namanya, bagian dari gerakan yang kafir," jelasnya.
Mahfud telah meminta masyarakat lebih jernih dalam melihat isu radikalisme agar tidak terlihat seolah-olah pemerintah memerangi kelompok tertentu saja. Ia pun menegaskan Muslim di Tanah Air pun menolak keberadaan paham radikal.
Ia juga menegaskan dalam menangani aksi terorisme pun, aparat tidak pernah memilih berdasarkan agama, apakah Islam atau bukan. Bagi pemerintah, setiap paham radikal harus ditekan apa pun agamanya.
"Tidak pernah di pemerintah katakan orang islam radikal. Kita menangani orang-orang radikal tidak peduli itu orang Islam atau tidak. Bahwa kebetulan ada yang islam, bukan karena Islamnya," jelas dia.
Penanggulangan paham radikal, Mahfud mengatakan, akan melibatkan sistem pendidikan di Indonesia. Menurutnya, penekanan untuk tidak terlibat dalam radikalisme akan lebih banyak diselipkan dalam mata pelajaran di sekolah.
Isu radikalisme memang menjadi salah satu pembahasan dalam rapat terbatas tingkat menteri di Istana, Kamis (31/10). Dalam rapat itu, Presiden Jokowi mengusulkan agar istilah radikalisme yang sering kali digunakan, diganti menjadi istilah manipulator agama. Hal ini disampaikannya dalam rapat terbatas terkait penyampaikan program dan kegiatan di bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden, Kamis (31/10).
"Apa yang sekarang ini banyak disebut yaitu mengenai radikalisme. Atau mungkin nggak tahu, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama," ujar Jokowi.
Presiden pun menekankan, masalah radikalisme ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah, kata dia, harus melakukan upaya serius untuk mencegah perluasan radikalisme di masyarakat.
"Harus ada upaya yang serius untuk mencegah meluasnya," ucapnya.