REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa banyak warga Amerika Serikat (AS) yang memiliki sikap yang berbeda terhadap imigran Muslim. Studi menunjukkan nampaknya orang-orang di Negeri Paman Sam cenderung lebih simpatik terhadap individu yang beragama Nasrani, serta para perempuan, dan mereka yang berbicara dengan bahasa Inggris.
Dilansir The National, para peneliti juga menemukan bahwa tingkat bias warga Amerika tersebut bervariasi. Terdapat di antaranya yang menggambarkan diri sebagai orang kulit putih, kemudian berasal dari Partai Republik, hingga warga Kristen yang kemungkinan besar memegang sentimen anti-Muslim.
"Sentimen anti-Muslim ini terkait dengan pengungsi dan migran telah didokumentasikan di Eropa Barat," ujar Melina Platas, asisten profesor studi ilmu politik di NYU Abu Dhabi yang merupakan rekan penulis penelitian.
Menurut Platas, peneliti juga melihat beberapa bukti sentimen anti-Muslim dalam konteks lain di AS. Karena itu, ia berharap agar studi juga bisa menemukan sesuatu yang serupa, dalam mengevaluasi para pengungsi.
“Temuan terkait gender belum kami antisipasi hingga taraf yang sama, tidak jelas ke arah mana akan pergi. Hasil itu nantinya mungkin mencerminkan bahwa orang Amerika memandang perempuan lebih dihargai dan memberi mereka prefensi,” jelas Platas.
Studi dilakukan berdasarkan survei yang dilakukan pada 2016 sebelum pemilihan yang memenangkan Presiden AS Donald Trump. Penelitian melibatkan 1.800 responden, yang masing-masing diperlihatkan foto-foto dari pengungsi suriah dengan karakteristik berbeda dan kemudian diminta untuk menilai mereka.
Para responden juga ditanyai siapa di antara setiap pasang pengungsi yang lebih disukai untuk berada di AS.
Muslim, secara rata-rata berada di peringkat 0,5 poin lebih rendah dibanding Kristen, preferensi terbesar dalam penelitian ini. Bias yang lebih lemah ditemukan terhadap para pengungsi yang berjenis kelamin laki-laki, serta tidak bisa berbahasa Inggris dan tidak terampil.
Sejak penelitian dilakukan, Platas mengatakan jajak pendapat menunjukkan pandangan AS tentang pengungsi semakin keras di sepanjang garis partai, dengan sentimen anti-pengungsi menjadi semakin mengakar di kalangan Republik. “Ada polarisasi dalam sikap terhadap pengungsi secara umum. Kami melihat ini dalam perbedaan kebijakan antara presiden,” kata Platas.
Selama masa jabatan mantan presiden AS Barack Obama, jumlah pengungsi yang diizinkan masuk ke AS cukup tinggi, dengan batas jumlah pengungsi yang diterima di negara adidaya itu adalah 110 ribu. Sementara, di era kepemimpinan Trump saat ini, angka tersebut diturunkan.
Platas mengatakan, dia dan rekan penulisnya terus mensurvei publik Amerika sehubungan dengan pandangan mereka terhadap migran. Terlebih dengan banyak retorika baru-baru ini yang berfokus pada para pencari suaka yang datang terutama dari Amerika Latin, para peneliti tertarik pada apakah orang-orang ini dipandang secara berbeda dengan pengungsi Suriah.
Tujuan utama penelitian adalah untuk mengidentifikasi cara-cara di mana publik dapat didorong untuk mengembangkan empati terhadap para migran. Platas menekankan, retorika politik yang memecah belah telah menjadi motivasi untuk penelitian ini.
“Apa yang berhasil ditunjukkan oleh ilmu politik adalah bahwa elit politik dapat memengaruhi sikap terhadap para pengungsi.Ini memiliki konsekuensi nyata bagi ribuan pengungsi,” jelas Platas lebih lanjut.